Sabtu, 09 Juni 2012

Perilaku Kita


9 Maret 2006 22:13:36
Oleh:KH. A. Mustofa Bisri

Barangkali kita, khususnya yang tinggal di kota, memang terlalu sibuk. Urusan kita – untuk kepentingan kita sendiri – begitu banyak, sehingga jatah waktu yang 24 jam rasanya tidak cukup.

Coba hitung, berapa jam untuk mencari nafkah, untuk olah raga, rekreasi, , kerja sosial, istirahat, dan seterusnya.

Jadi, umumnya kita memang tak cukup punya waktu untuk njlimeti persoalan-persoalan yang tidak – atau tidak segera tampak – ada kaitannya langsung dengan kepentingan diri kita sendiri. Kiranya utuk persoalan-persoalan yang seperti itu, ‘partisipasi’ kita cukuplah dengan ikut meramaikan sambil lalu bersama mass media. Misalnya dengan sedikit ‘nyumbang’ pernyataan atau pendapat, sedikit usul atau kalau perlu protes dan demonstrasi. Nanti persoalan-persoalan itu pun akan selesai dengan sendirinya.

Mereka mempunyai ghirah, semangat, dan kepedulian yang besar terhadap agama pun, apabila – terdorong ghirah mereka untuk – menanggapi suatu persoalan, seringkali tidak sempat sekadar menengok tuntunan agama mereka sendiri itu mengenai bagaimana seharusnya menanggapi persoalan semacam. Bahkan dalam persoalan yang menyangkut agama, kalau pun ada ‘konsultasi’ sebelumnya, paling banter, ya kepada akal pikiran dan emosi – atau I’tiqad kelompok – sendiri; jarang yang sampai kepada Allah, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.

Ambilah contoh persoalan-persoalan yangn menyangkut ukhuwah Islamiyah dan mu’amalah bainan-naas. Kalaupun merujuk , misalnya, kepada firman Allah atau Rasulnya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kacamata hitam-putih” kita sendiri. Kita benci dulu kepada saudara kita, misalnya, lalu kita cari-cari dalil yang bisa mengaitkannya dengan hal-hal yang tidak disukai Allah. Dengan demikian akan mudah kita mengambil keputusan bahwa saudara kita itu dibenci Allah, karenanya perlu kita ganyang. Kita curiga dulu terhadap suatu kelompok, setelah itu mudah kita mencari argumentasi membabat setiap gagasan, atau bahkan sekedar pendapat dari kelompok tersebut.

Ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketimbang harus capek-capek mengatur diri agar obyektif, mengkaji masalah secara jernih, dan dengan lurus merujuk firman Allah atau sabda RasulNya.

Waba’du: Allah menyuruh kita- kaum mukminin-untuk menjauhi prasangka-prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing sesama (Q.S. 49:12). Tapi mana kita punya waktu untuk lebih dari sekedar berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain, kalau kita terlalu sibuk dengan diri kita dan kelompok kita sendiri?

Biasanya dengan dalih menegakkan kebenaran atau menjaga kesucian agama, prasangka larangan-larangan yang sudah digariskan Tuhan pun lalu dianggap halal dan dilupakan. Padahal menegakan kebenaran – bagi kaum beriman – pun ada cara dan rambu-rambunya (Q.S. 4:135 dan Q.S. 5:8). Ataukah kita juga tidak punya cukup waktu – atau na’udzubillah kita terlalu angkuh dan merasa tidak perlu – untuk mendengarkan firman Allah tentang sikap dan perilaku yang harus kita ambil dan jalani? Semoga Allah mengampuni kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar