Ummu Sulaim Contoh Wanita yang Cerdas
Pernah mendengar Ummu Sulaim, seorang perempuan tauladan yang sangat cerdas… menarik untuk di baca dan di tauladani kisahnya..
mari dibaca mbak ismi…
Ia seorang wanita keturunan bangsawan
dari kabilah Anshar suku Khazraj memiliki sifat keibuan dan berwajah
manis menawan. Selain itu ia juga berotak cerdas penuh kehati-hatian
dalam bersikap, dewasa dan berakhlak mulia, sehingga dengan
sifat-sifatnya yang istimewa itulah pamannya yang bernama Malik bin
Nadhar melirik dan mempersuntingnya. Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan
bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah satu dari wanita saliha yang
memiliki kedudukan istimewa di mata Rasulullah.
Pada saat Rasululllah menyerukan dakwah
menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama
Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan
dihadapinya dari masyarakat jahili paganis.
Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat
marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh
karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: “Engkau kini telah
terperangkap dalam kemurtadan!”
“Saya tidak murtad. Justru saya kini
telah beriman,” jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan Ummu
Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga tanpa
bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Melihat kesungguhan istrinya serta
pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir bosan
dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad
untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau
kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah
suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian
ia dibunuh..
Saat mendengar kabar kematian suaminya
dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata, “Saya akan tetap menyusui
Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan sekali-kali saya tak ingin
menikah lagi sampai Anas menyuruhku.”
Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim
dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia
menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua
keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan
rasa kagum.
Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah
tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak
dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan
kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang
mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya
menjadi kelu dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu
Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat,
“Tidak selayaknya saya menikah dengan
seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu selama
ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila
engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan menghanguskan
patung-patung itu.”
Perkataan Ummu Sulaim amat telak
menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat
dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima.
Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya
yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia
datang lagi menjumpai ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih
wah serta kehidupan kelas atas.
Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah yag
cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia
tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah.
Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng daripada seluruh kenikmatan
dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab, “Sesungguhnya
saya tidak pantas menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah.
Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang muslimah. Maka tak
pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa keinginan saya?”
“Engkau menginginkan dinar dan
kenikmatan,” kata Abu Thalhah. “Sedikitpun saya tidak menginginkan dinar
dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera memeluk agama
Islam,” tukas Ummu Sualim tandas.
“Tetapi saya tidak mengerti siapa yang
akan menjadi pembimbingku?” Tanya Abu Thalhah. “tentu saja pembimbingmu
adalah Rasululah sendiri,” tegas Ummu Sulaim.
Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi
menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mana saat itu
tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berseru, “Abu Thalhah telah
datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya.”
Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar
terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya
akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun tegiur oleh
kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi
istri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hinnga tanpa terasa
di hadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lisan Abu Thalhah
basah mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran Anda, wahai
Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya.”
Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Ana, “Bangunlah wahai Anas.”
Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu
Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit
–seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, “Sama sekali aku belum
pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu
Sulaim, yaitu keislaman suaminya.” Selanjutnya mereka menjalani
kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya
Islam.
Abu Thalhah sendiri adalah seorang
konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia
cintai yaitu tanah perkebunan “Bairuha”. Tanah perkebunan itu letaknya
persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian
turun ayat yang berbunyi:
“Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)
Mendengar ayat ini, kontan Abu Thalhah
menghadap Rasulullah. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah
melanjutkan, “Dan sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah
tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah
dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah kelak.
Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai Rasulullah.”
Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam, “Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan
saya telah mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang
berpendapat sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga
kalian.”
Abu Thalhah pun menuruti perintah
Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak familinya dan anak
keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah memuliakan seorang anak
laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair.
Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis
dengan sedih. Saat itu lewatlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur
dan bertanya, “Wahai Abu Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung
kecil?”
Namun takdir Allah memang tak mampu
diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran
pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh
sakit sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah
putra kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama
kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum
mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu
Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, putranya Abu
Umair menghembuskan nafas terakhir.
Ummu Sulaim memang seorang ibu mukminah
yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu
Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar
berulang-ulang, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un.” Dengan suara
berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, “Jangan sekali-kali kalian
memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri
yang memberitahunya.”
Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah,
air mata kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan
suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana keadaan putraku sekarang?”
“Dia lebih tenang dari biasanya.” Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.
Abu Thalhah merasa begitu letih hingga
tak ada keinginan menengok putranya. Namun hatinya turut berbunga-bunga
mengira putranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu
suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta berhias
dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur
bersama.
Setelah suaminya terlelap, Ummu Sulaim
memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan suaminya perihal
putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan
seharian, sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur pulas.
Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim
berbicara pada suaminya, seraya bertanya, “Wahai Abu Thalhah apa
pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada
tetangganya lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam
enggan mengembalikannya?”
“Tidak,” jawab Abu Thalhah.
“Bagaimana jika si peminjam enggan
mengembalikannya setelah menggunakannya?” “Wah, mereka benar-benar tidak
waras,” Abu Thalhah menukas.
“Demikian pula putramu. Allah
meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali.
Relakanlah ia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah
marah dan membentak, “Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan
aku hingga aku ternoda (berhadats karena berhubungan suami istri)?”
Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak
henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji
Allah dengan hati yang tenang.
Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari
kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam pun bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan
barakah pada malam pengantin kalian berdua.”
Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung
lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah
oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan subhanallah
barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian
hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya hafizhul Qur’an.
Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga
pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu dikarenakan suatu
peristiwa. Sampau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya
“Aku memasuki surga dan aku mendengar
jalannya seseorang. Lantas aku bertanya “Siapakah ini?” Penghuni surga
spontan menjawab “Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik.”
Selamat untukmu Ibunda Anas!