GURU MU
by. H.R. Taufiqurrahman.MA
Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama
berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya
masih tetap membara. Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai
nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan kapasitas keilmuan dan
kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad, selalu melekat dan
diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata, untaian
kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz
Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran
di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad.
Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an
(PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai
As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para
hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya
Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan
pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan perlunya mendalami
ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit
berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi
berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam
muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad
berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi,
Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai
Basori nika, guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai
Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari
ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai
As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa
seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu
huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di
atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu
man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba
setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu
bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat
itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara
Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan pribadi dan bahkan
bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka terkadang Kiai Basori
harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah perjuangan demi
al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika
Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi,
kontan saja para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak
lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai
guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para
penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini
membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata
setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi
salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000 rupiah.
Sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk
ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel berupa uang,
walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang Madura
pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan kosong.
Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak tahu
hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk
penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah
orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai
Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka sejak itu pula
mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru yang harus
dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara
haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah
Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga
penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam
membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa?
Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori
sebagai Sang Guru Quran.
Sekali seseorang mengajari kita
tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu pula dialah guru
kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis seperti
prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul
Ilmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar