Sabtu, 21 Juli 2012

 Rasulullah manusia dermawan

Sayyidina Umar bin Khatta bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan  harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Umar lalu berkata, “Wahai  Rasulullah janganlah  memberi diluar batas  kemampuanmu.” Rasulullah tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi). Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba orang-orang mencegat beliau dan meminta dengan setengah memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Kemudian salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah berhenti sejenak dan berseru, ”Berikan mantelku
itu padaku! Itu untuk menutup auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu akan kubagikan pada kalian.” (HR. Bukhari)
Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW bercerita, suatu hari Rasulullah masuk ke rumahku dengan muka
pucat. Aku khawatir beliau sedang sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab, ”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR Al- Haitsami dan hadistnya sahih).
Aisyah berkata, suatu hari, ketika sakit, Rasulullah SAW menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpannya di rumah. Setelah menyuruhku bersedekah, beliau lalu pingsan. Ketika sudah siuman, Rasulullah bertanya kembali: “Uang itu sudah kau sedekahkan?” “Belum, karena aku kemarin sangat sibuk,” jawabku. Rasulullah bersabda, “Mengapa bisa begitu, ambil uang itu!” Begitu uang itu sudah di hadapannya, Rasulullah lalu bersabda, “Bagaimana
menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara aku masih mempunyai uang yang belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang, sementara ia mempunyai uang yang belum disedekahkan.” (HR Ahmad).
Sahl bin Sa’ad bertutur, suatu hari datang seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi Saw sepotong
syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah adalah baju lapang yang menutup seluruh badan). Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, akulah yang menenun syamlah ini dan aku hendak menghadiahkannya kepada Engkau.” Rasulullah pun sangat menyukainya. Tanpa banyak bicara, beliau langsung mengambil dan memakainya dengan sangat gembira dan berterima kasih kepada wanita itu. Rasulullah betul-betul sangat membutuhkan dan menyukai syamlah tersebut. Tidak lama setelah wanita itu pergi, tiba-tiba datang seorang laki-laki meminta syamlah tersebut. Rasulullah pun memberikannya. Para sahabat yang lain lalu mengecam laki-laki tersebut. Mereka berkata, “Hai Fulan, Rasulullah sangat menyukai syamlah tersebut, mengapa kau memintanya? Kau kan tahu Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Laki-laki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku
meninggal.” Tidak lama kemudian, laki-laki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya. (HR Bukhari).
Beberapa kisah di atas hanyalah sebutir jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW.
Kisah- kisah lainnya bagaikan gunung pasir tertinggi yang takkan pernah sanggup diimbangi oleh siapapun,
termasuk para sahabat- sahabat terdekatnya di masa beliau masih hidup. Sahabat-sahabat Rasulullah
hanya bisa meniru kedermawanan yang diajarkan Baginda Rasul itu, yang kemudian menambah panjang jejak sejarah kedermawanan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya.
 Lihatlah Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat yang kaya raya namun pemurah dan dermawan“Sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah” adalah lukisan tentang kedermawanan
seorang Thalhah. Isterinya bernama Su’da binti Auf. Pada suatu hari isterinya
melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat
keadaan suaminya, sang isteri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan
Thalhah mejawab, “Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak
sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?”
Maka istrinya berkata, “Uang yang ada di tanganmu itu bagi-
bagikanlah kepada fakir miskin.” Maka dibagi- baginyalah seluruh uang
yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata
tentang Thalhah, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.” Jaabir bin Abdullah bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.” Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”. Sahabat lain yang mengukir jejak indah kedermawanan mencontoh Nabi adalah Tsabit bin Dahdah yang memiliki kebun yang bagus, berisi 600 batang kurma kualitas terbaik. Begitu turun firman Allah, “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (pembayaran) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 11). Dia bergegas mendatangi Rasulullah untuk bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Allah ingin meminjam dari hambanya?” “Benar,” jawab Rasulullah. Spontan Tsabit bin Dahdah mengacungkan tangannya seraya berkata, “Ulurkanlah tangan Anda, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengulurkan tangannya, dan langsung disambut oleh Tsabit bin Dahdah sambil berkata,
“Aku menjadikan Anda sebagai saksi bahwa kupinjamkan kebunku kepada Allah.” Tsabit sangat gembira dengan keputusannya itu. Dalam perjalanan pulang dia mampir ke kebunnya.
Dilihatnya isteri dan anak- anaknya sedang bersantai di bawah pepohonan yang sarat dengan buah. Dari pintu kebun, Dipanggillah sang isteri, “Hai Ummu Dahdah! Ummu
Dahdah! Cepat keluar dari kebun ini, Aku sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah!” Isterinya
menyambut dengan suka cita, “Engkau tidak rugi, suamiku, engkau beruntung,
engkau sungguh beruntung!” Segera dikeluarkannya kurma yang
ada di mulut anak-anaknya seraya berkata, “Ayahmu sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah.” Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Berapa banyak pohon sarat buah yang kulihat di surga atas nama Abu Dahdah.” Artinya, Allah memberi Tsabit bin Dahdah pohon- pohon yang berbuah lebat di surga sebagai ganti atas pemberiannya kepada-Nya di dunia. Indah nian jejak-jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW, lebih indah lagi apa-apa yang dijanjikan Allah atas apa yang diberikan di jalan-Nya.
Karenanya, seluruh sahabat pada masa itu berlomba- lomba mengikuti jejak Nabi
dalam segala hal, termasuk tentang kedermawanan. Semoga, jejak kedermawanan itu terus terukir pada ummat Muhammad hingga kini selama kita masih terus meleburkan diri pada rantai jejak indah itu, dan mengajarkannya kepada anak-anak dan penerus kehidupan ini.

kekuatan Allah


dahulu kala pada Suatu pagi, ada seorang laki-laki tua pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal dengan cara menjala ikan di laut. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, “Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor ikan laut.”
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa nelayan itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Nelayan.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya infeksi ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka.
Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya
menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa/psikiater (ahli hikmah).
Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari Nelayan itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, “Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai Nelayan itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat.”
Dicarinya nelayan itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Nelayan itu memaafkan semua kesalahannya. Si Nelayan pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Nelayan ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, “Wahai nelayan, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?”
Nelayan itu menjawab, “Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!”‘
Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja’far Ash Shadiq)

Senin, 02 Juli 2012

Pesankan Saya Tempat di Neraka


Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.


Sumber : majelisalanwar
ibnu hajar dan seorang yahudi
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.

Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.

Kamis, 28 Juni 2012

GURU MU

by. H.R. Taufiqurrahman.MA


Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil Bangkalan  untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.

Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara. Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad, selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata, untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.

Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para hadirin.

Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.

Setelah kurang lebih 30 menit berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad berkata:

"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai Basori nika, guruna be'en kabbih".

"Saudara-saudara! Ingat, Kiai Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".

Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".

Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah perjuangan demi al-Quran.

Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi, kontan saja para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai guru mereka semua.

Menyadari hal itu, syahdan para penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000 rupiah.

Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak tahu hormat terhadap ahli ilmu.

Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.

Hingga kini, di setiap acara haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa? Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori sebagai Sang Guru Quran.

Sekali seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul Ilmi.

Jumat, 22 Juni 2012

SUKSES adalah proses

Sukses adalah dinilai dari sebuah proses, bukan hasil akhir.
Success is a journey”. Sukses adalah perjalanan, bukan hasil akhir. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an  surat 4, ayat 100:
“dan barang siapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rejeki) yangbanyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum samapai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh. Dan Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, kesuksesan seseorang dilihat dari proses dalam menjalani kehidupan itu, bukan menilai sukses berdasar hasil akhir.
Sebagai ilustrasi, seseorang menimba ilmu di suatu sekolah tinggi terkemuka, maka, seseorang itu dikatakan sukses jika setelah keluar dari sekolahan tersebut bisa mempunyai jabatan tinggi dan terkemuka. Itu premahaman sukses yang KELIRU. Yang benar dan berdasar al-qur’an, maka seseorang yang sekolah itu dikatakan SUKSES jika dia bisa menjalani PROSES-PROSES dalam menjalani sekolahnya dengan baik dan benar, kemudian HASIL AKHIR dari kegiatannya bersekolah itu adalah ada digenggaman Alloh semata, seseorang yang sekolah itu tidak memiliki hak untuk memastikan hasil akhirmya.
Itulah pemahaman sukses yang sesungguhnya berdasarkan perkataan (firman) Alloh. Tapi di lain sisi, tidak sedikit orang yang salah dalam memahami SUKSES yang harus diraih. Kesalahan pemahaman ini kadang terjadi pada umat islam yang belajar islam dari orang islam. Seharusnya belajar islam dari al-qur’an dan Assunah.
Kejadian ini tersirat juga dalam sebuah kisah seorang pada jaman sahabat, seseorang itu membunuh sebanyak 99 orang selama hidupnya. Kemudian seseorang itu ada keinginan untuk bertobat. Kemudian dia mendatangi seorang muslim, dan bertanya. “bagaimana kami hendak bertaubat, tapi bisakah kami bertobat karena kami telah membunuh sebanyak 99 orang selama hidup kami”, seorang muslim itu menjawab, “wah begitu banyak sekali kamu membunuh orang, bagaimana kamu bisa bertobat”. Maka pembunuh itu membunuh seorang muslim itu, sehingga orang yang dibunuhnya genap menjadi 100 orang. Kemudian dia mendatangi lagi seorang muslim alim, kemudian bertanya lagi tentang cara yang bisa dia tempuh untuk bertobat. Seorang alim itu menjawab, “pergilah (berhijrah) ke tempat yang baik, yang terletak di suatu tempat”. Maka si pembunuh itu menuju tempat yang ditunjukan oleh seorang alim itu. Di tengah jalan sebelum sampai ke tempat yang hendak dituju, dia menemui ajalnya. Kemudian para malaikat menimbang pahala si pembunuh itu berdasar jauh dekatnya jarak yang hendak dituju untuk bertobat dengan dosanya membunuh 100 orang.
Dari kisah di atas, meski seseorang pada masa lalunya memiliki kisah tidak baik dalam beribadah atau mendekatkan diri pada Alloh, tapi ada perbaikan di hari-hari berikutnya, maka Alloh MahaPengampun.
Di lain sisi, terkadang ada orang yang bertanya tentang perlunya beribadah. ‘buat apa ibadah dari sekarang, sudah saja ibadah nanti pas hari ajal telah dekat’. Maka ibadah yang dijalankan semacam itu, apakah bisa memenuhi tujuan hakiki dari ibadah itu? Tujuan dari IBADAH tiada lain yaitu untuk suatu perantara untuk mendapat RAHMAT dari Alloh SWT.
Kesuksesan atau kemenangan harus benar-benar dipahami oleh umat islam, karena tidak sedikit orang yang salah memahami sukses itu sendiri, sehingga betapa sulitnya menjalani hari-hari karena salah pemahaman. Kemenangan atau kesuksesan juga dijelaskan dalam al-qur’an surat al-imran (3) ayat 100, bahwa: “setiap yang bernyawa akan merasakan (mencicipi) mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkandari neraka dan dimasukan ke dalam surge, sungguh, dia memperoleh kemenangan”.
Memahami sukses itu sendiri, kita bisa berkaca pada sosok sukses, yang tidak diragukan lagi kesuksesannya, yaitu Rasulullah, Muhammad SAW. Dia adalah orang sukses yang diakui dunia, baik oleh orang islam maupun non-islam. Sehingga dalam sebuah buku yang ditulis oleh orang barat, Rasulullah di tempatkan pada urutan orang pertama yang berhasil (sukses) dalam merubah atau mempengaruhi peradaban manusia. Padahal kalau kita lihat, Rasulullah bukan lah sukses karena bergelar professor, bukan juga sukses karena kemandirian, bukan juga karena kekayaan, bukan juga karena keshalihannya. Dia tetap orang biasa. Kesuksesan bukan karena harta karena Rasulullah pun setelah meninggal dunia tidak lah meninggalkan harta yang bergelimang, hanya meninggalkan tempat tidurnya dari pelepah kurma. Sukses juga bukan karena kemandirian, karena buktinya Rasulullah pun membutuhkan para sahabat-sahabat untuk menyelesaikan dan membantu beragam kegiatan dia (dia tidak bisa bekerja sendiri, dan tetap membutuhkan orang lain). Shalih saja, juga tidak cukup untuk meraih sukses, karena Rasulullah pun pernah salah, sehingga mengharamkan makanan, adahal hak untuk mengharamkan atau menghalalkan makanan hanyalah hak Alloh.
SUKSES kalau kita singkat dalam suatu rumus mudah, maka sebagai berikut:
KEJADIAN + TINDAKAN = SUKSES/GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BURUK = GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BAIK = SUKSES
Jadi kunci SUKSES ada pada tindakan/amal (Al-qur’an 67:2).
Dan ketahuilah, bahwa ALloh itu melihat PROSES yang dijalani seseorang –baik atau tidak, sedangkan hasil akhir adalah hak Alloh semata.
waallohu’alam.


(Sumber: Ustadz Doddy Al Jambary, Masjid Cut Mutiah, Jakarta Pusat)

Rabu, 20 Juni 2012

Istri yang berhak masuk surga dari pintu manapun

Dahulu di Baghdad ada seorang laki-laki penjual kain yang kaya. Tatkala dia sedang berada di tokonya, datanglah seorang gadis muda mencari-cari sesuatu yang hendak dibeli. Ketika sedang berbicara, tiba-tiba gadis itu menyingkap wajahnya di sela-sela perbincangan tersebut sehingga laki-laki terrebut terkesima dan berkata, “Demi Allah, aku terpana dengan apa yang kulihat.”
Gadis itupun berkata, “Kedatanganku bukan untuk membeli apapun. Selama beberapa hari ini aku keluar masuk pasar untuk mencari seorang pria yang menarik hatiku dan bersedia menikah denganku. Dan engkau telah membuatku tertarik. Aku memiliki harta. Apakah engkau mau menikah denganku?”
Laki-laki itu berkata, “Aku telah menikahi sepupuku, dialah istriku. Aku telah berjanji kepadanya untuk tidak membuatnya cemburu dan aku juga telah mempunyai seorang anak darinya.”
Wanita itu mengatakan, “Aku rela jika engkau hanya mendatangiku dua kali dalam seminggu.” Akhirnya laki-laki itupun setuju lalu bangkit bersamanya. Akad nikah pun dilakukan. Kemudian dia pergi menuju rumah gadis tersebut dan berhubungan dengannya.
Setelah itu, si pedagang kain pulang ke rumahnya lalu berkata kepada istrinya, “Ada teman yang memintaku tinggal semalam di rumahnya.” Dia pun pergi dan bermalam bersama istri barunya.
Setiap hari setelah zhuhur dia mengunjungi istri barunya. Hal ini berlangsung selama delapan bulan, hingga akhirnya istrinya yang pertama mulai merasa aneh dengan keadaannya. Dia berkata kepada pembantunya, “Jika suamiku keluar, perhatikanlah ke mana dia pergi.”
Si pembantu pun membuntuti suami majikannya pergi ke toko, namun ketika tiba waktu zhuhur dia pergi lagi. Si pembantu terus membuntuti tanpa diketahui hingga tibalah suami majikannya itu di rumah istri yang baru. Pembantu itu mendatangi tetangga-tetangga sekitar dan bertanya, “Rumah siapakah ini?” Mereka menjawab, “Rumah milik seorang wanita yang telah menikah dengan seorang penjual kain.”
Pembantu itu segera pulang menemui majikannya lalu menceritakan hal tersebut. Majikannya berpesan, “Hati-hati, jangan sampai ada seorang pun yang lain mengetahui hal ini.” Dan istri lama si pedagang kain juga tetap bersikap seperti biasa terhadap suaminya.
Si pedagang kain menjalani kehidupan bersama istrinya yang baru selama satu tahun. Lalu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak delapan ribu dinar. Maka istri yang pertama membagi harta warisan yang berhak diterima oleh putranya, yaitu tujuh ribu dinar. Sementara sisanya yang berjumlah seribu dinar ia bagi menjadi dua. Satu bagian ia letakkan di dalam kantong, kemudian ia berkata kepada pembantunya, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke rumah wanita itu. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah meninggal dengan mewariskan uang sebesar delapan rib dinar. Putranya telah mengambil tujuh ribu dinar yang menjadi haknya, dan sisanya seribu dinar aku bagi denganmu, masing-masing memperoleh setengah. Inilah bagian untukmu. Dan sampaikan salamku juga untuknya.”
Si pembantu pun pergi ke rumah istri kedua si pedagang kain, kemudian mengetuk pintu. Setelah masuk, disampaikannyalah berita tentang kematian si pedagang kain, dan pesan dari istri pertamanya. Wanita itupun menangis, lalu membuka kotak miliknya dan mengeluarkan secarik kertas seraya berkata kepada si pembantu, “Kembalilah kepada majikanmu dan sampaikan salamku untuknya. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah menceraikanku dan telah menulis surat cerai untukku. Maka kembalikanlah harta ini kepadanya karena sesungguhnya aku tidak berhak mendapatkan harta warisannya sedikitpun.” (Shifatus Shofwah, 2/532)
MasyaAllah …….
Dinukil dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 16/1433 H/2012, dalam artikel “Mutiara Berkilau para Wanita Shalihah” oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim hafizhahullah, hal. 68-69.

Jumat, 15 Juni 2012

Sebuah Teladan dalam Derita

Oleh: KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy(pengasuh ke 4 pp.sal-syaf situbondo)

 Sebuah kisah teladan pernah dituturkan sahabat Anas ra. tentang Baginda Nabi saw. dalam menyikapi duka penderitaan. Bahkan ia menjadi saksi langsung atas peristiwa mengharukan itu.
Betapa sedih hati Nabi saw., manakala didekatkan tubuh putranya tercinta, Ibrahim ra., ke dalam pelukan. Saat itu nafas si kecil terdengar tak beraturan, menggigil karena demam yang sangat. Lalu didekapnya tubuh mungil tadi perlahan, penuh kasih sayang, sedang ia berjuang dalam menghadapai sakaratul maut. Demi melihat pemandangan yang teramat mengharukan itu, berderailah air mata bening Baginda, basahi wajahnya yang mulia, shollallohu 'alaihi wa sallam.
"Inna lillah wa inna ilaihi roji'un, mata teteskan airnya, dan hati rasakan kepiluannya. Kami tak berkata kecuali sesuatu yang menjadi ridlo Tuhan, dan untuk kepergianmu, hai Ibrahim, kami sangatlah merasakan kesedihan!" sabda Baginda terdengar begitu tabah menghadapi kematian putranya tercinta.
***


Kisah yang lain pernah juga disaksikan oleh Abu Sa'id ra., salah seorang sahabat terdekat Nabi saw., dan perawi hadits yang banyak menjadi rujukan.
Suatu hari, ia tampak bergegas pergi menjenguk Nabi saw. di kediamannya, setelah sebelum itu tersiar kabar bahwa Baginda jatuh sakit yang jarang dialaminya selama hidup.
Sahabat Nabi itu pun tak mampu menahan diri saat mengetahui kekasihnya sedang mengalami demam yang teramat sangat. Terlihat raut wajahnya tak lagi bisa menyembunyikan perasaan sedih yang mendalam, meski sebenarnya Nabi sendiri tak mengharapkan untuk dikasihani.
Saat ditemuinya Nabi saw. sedang terbaring. Abu Sa'id tak tahan untuk menghulurkan tangan, ia meletakkannya di atas helai kain beludru yang menyelimuti tubuh Sang Kekasih, seraya berkata, "Alangkah sangat demam yang engkau alami, ya Rasulalloh!"
Baginda Nabi menatap wajah sahabatnya begitu lekat. Kemudian bersabda, "Sesungguhnya kami para nabi memanglah demikian. Diberatkan atas kami setiap cobaan, dan dilipatgandakan untuk kami pahala balasan!" suaranya masih saja berwibawa, menunjukkan kebesaran jiwa pemiliknya.
Mendengar itu pun Abu Sa'id menimpali dengan bertanya, "Ya Rosulalloh, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?"
"Para nabi!" jawab Baginda ringkas.
"Lalu siapa?" ia bertanya lagi.
"Para ulama'!"
"Lalu siapa lagi?" Abu Sa'id bertanya kembali.
"Orang-orang shaleh. Salah seorang diantara mereka ada yang diuji dengan kutu kepala sampai membunuhnya, dan yang lain ada yang diuji dengan kefakiran hingga tak mendapati sesuatu yang bisa dipakai kecuali sehelai mantel yang terbuka depannya. Sungguh seorang dari mereka ada yang sangat bahagia manakala diuji, melebihi kebahagiaan salah seorang kalian manakala memperoleh suatu anugerah."
***
Baginda Nabi saw. dicipta sempurna dalam setiap sisi kemanusiaannya. Hidupnya adalah teladan dalam makna yang hakiki. Teladan dalam hal yang terkecil sampai yang terbesar. Teladan dalam mensyukuri karunia ni'mat, dan teladan dalam menghadapi cobaan meski itu dirasa berat. Demikianlah para nabi, hidup mereka adalah cermin bagi umatnya.
Nabi mengajarkan kepada umat ini kapan saat yang tepat memberi simpati, dan kapan saat yang tepat untuk berempati. Baginda juga telah menjelaskan rasa berduka yang tidak melampaui batas. Ketika umat merasa kecil hati, tak mampu hadapi cobaan hidup, ia pun tampil dengan pesan-pesannya yang membangkitkan semangat, agar bertahan di titik kesabaran.
Apapun musibah yang dialami seorang mu'min dari keresahan hati, duka lara, kepelikan hidup dan bencana yang menimpa, sampai tertusuk duri pun, semua itu tidaklah terjadi kecuali menjadi tebusan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Alloh akan menggugurkan dosa-dosa hambanya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya ke tanah.
Bukankah perumpamaan seorang mu'min itu laksana tanaman yang tak henti-henti digoyang oleh hembusan angin? Maka demikianlah keadaan seorang mu'min yang tak henti-henti ditimpa cobaan sebagai ujian atas pengakuan keimanannya. Berbeda halnya dengan seorang munafik, ia umpama pohon Arz (sejenis pohon) yang tak bergoyang kecuali setelah dicabut dengan paksa!
Keteladanan ini bahkan dilakukannya sampai menjelang akhir hayat. Ketika malaikat Izrail as. datang meminta izin untuk menjemput ruhnya yang suci mulia. Baginda masih saja mengajarkan kepada Fatimah ra. putri tercinta, tentang sikap terbaik kala melepas kepergian orang tercinta, tentang kepergian dirinya menghadap Rofiqil a'la, Alloh swt.
Saat dilihatnya Fatimah menangis pilu, Baginda Nabi saw. bersabda, "Jangan menangis, hai putriku. Bila aku nanti mati ucapkanlah: Inna lillah wa inna ilaihi roji'un. Karena sungguh bagi setiap insan ada musibah yang diberi ganti!"
"Sebagai ganti dari engkau, ya Rosulalloh?" ucap Fatimah penuh tanya.
"Ya, sebagai ganti dari diriku!" tegas Nabi saw., memotivasi kebesaran jiwa sang putri kemudian.
dosa manusiapun dirahasiakan oleh Allah

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa pada zaman Nabi Musa as, kaum bani Israil pernah ditimpa musim kemarau panjang, lalu mereka berkumpul menemui Nabi Musa as dan berkata: "Wahai Kalamullah, tolonglah doakan kami kepada Tuhanmu supaya Dia berkenan menurunkan hujan untuk kami!"
Kemudian berdirilah Nabi Musa as bersama kaumnya dan mereka bersama-sama berangkat menuju ke tanah lapang. Dalam suatu pendapat dikatakan bahwa jumlah mereka pada waktu itu lebih kurang tujuh puluh ribu orang.
Setelah mereka sampai ke tempat yang dituju, maka Nabi Musa as mulai berdoa. Diantara isi doanya itu ialah: "Tuhanku, siramlah kami dengan air hujan-Mu, taburkanlah kepada kami rahmat-Mu dan kasihanilah kami terutama bagi anak-anak kecil yang masih menyusu, hewan ternak yang memerlukan rumput dan orang-orang tua yang sudah bongkok. Sebagaimana yang kami saksikan pada saat ini, langit sangat cerah dan matahari semakin panas.
Tuhanku, jika seandainya Engkau tidak lagi menganggap kedudukanku sebagai Nabi-Mu, maka aku mengharapkan keberkatan Nabi yang ummi yaitu Muhammad SAW yang akan Engkau utus untuk Nabi akhir zaman.
Kepada Nabi Musa as Allah menurunkan wahyu-Nya yang isinya: "Aku tidak pernah merendahkan kedudukanmu di sisi-Ku, sesungguhnya di sisi-Ku kamu mempunyai kedudukan yang tinggi. Akan tetapi bersama denganmu ini ada orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan maksiat selama empat puluh tahun. Engkau boleh memanggilnya supaya ia keluar dari kumpulan orang-orang yang hadir di tempat ini! Orang itulah sebagai penyebab terhalangnya turun hujan untuk kamu semuanya."
Nabi Musa kembali berkata: "Wahai Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang lemah, suaraku juga lemah, apakah mungkin suaraku ini akan dapat didengarnya, sedangkan jumlah mereka lebih dari tujuh puluh ribu orang?" Allah berfirman: "Wahai Musa, kamulah yang memanggil dan Aku-lah yang akan menyampaikannya kepada mereka!."
Menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Nabi Musa as segera berdiri dan berseru kepada kaumnya: "Wahai seorang hamba yang durhaka yang secara terang-terangan melakukannya bahkan lamanya sebanyak empat puluh tahun, keluarlah kamu dari rombongan kami ini, karena kamulah, hujan tidak diturunkan oleh Allah kepada kami semuanya!"
Mendengar seruan dari Nabi Musa as itu, maka orang yang durhaka itu berdiri sambil melihat kekanan kekiri. Akan tetapi, dia tidak melihat seorangpun yang keluar dari rombongan itu. Dengan demikian tahulah dia bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Musa as itu adalah dirinya sendiri. Di dalam hatinya berkata: "Jika aku keluar dari rombongan ini, niscaya akan terbukalah segala kejahatan yang telah aku lakukan selama ini terhadap kaum bani Israil, akan tetapi bila aku tetap bertahan untuk tetap duduk bersama mereka, pasti hujan tidak akan diturunkan oleh Allah SWT."
Setelah berkata demikian dalam hatinya, lelaki itu lalu menyembunyikan kepalanya di sebalik bajunya dan menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya sambil berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah durhaka kepada-Mu selama lebih empat puluh tahun, walaupun demikian Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku dan sekarang aku datang kepada-Mu dengan ketaatan maka terimalah taubatku ini."
Beberapa saat selepas itu, kelihatanlah awan yang bergumpalan di langit, seiring dengan itu hujanpun turun dengan lebatnya bagaikan ditumpahkan dari atas langit.
Melihat keadaan demikian maka Nabi Musa as berkata: "Tuhanku, mengapa Engkau memberikan hujan kepada kami, bukankah di antara kami tidak ada seorangpun yang keluar serta mengakui akan dosa yang dilakukannya?"
Allah berfirman: "Wahai Musa, aku menurunkan hujan ini juga di sebabkan oleh orang yang dahulunya sebagai sebab Aku tidak menurunkan hujan kepada kamu."
Nabi Musa berkata: "Tuhanku, lihatkanlah kepadaku siapa sebenarnya hamba-Mu yang taat itu?"
Allah berfirman: "Wahai Musa, dulu ketika dia durhaka kepada-Ku, Aku tidak pernah membuka aibnya. Apakah sekarang. Aku akan membuka aibnya itu ketika dia telah taat kepada-Ku? Wahai Musa, sesungguhnya Aku sangat benci kepada orang yang suka mengadu. Apakah sekarang Aku harus menjadi pengadu?"
(Dikutip dari buku: "1001 Keinsafan "Kisah-kisah Insan Bertaubat. Oleh: Kasmuri Selamat M A)

Kemanusiaan Sebagai Watak Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW

20 April 2006 22:00:53
Oleh: A. Mustofa Bisri

Ketika Sayyidatina Aisyah r.a. ditanya tentang suaminya Nabi Muhammad saw, jawabnya sungguh cekak aos, “Kaana khuluquhu Al-Quran.” (Pekertinya adalah Al-Qur’an). Benar-benar cekak aos, singkat tapi cukup atau penuh makna.

Jawaban ini, selain menunjukkan tingkat kecerdasan Aisyah yang tinggi, juga membuktikan tingkat pemahaman yang luar biasa dari putri sahabat Abu Bakar itu terhadap Al-Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad saw. Maklum murid dan istri kinasih Nabi.

Kiranya jawaban singkat tersebut – dengan sedikit berputar-putar – dapat pula dijadikan kunci jawaban apabila ada yang mempertanyakan kenapa sekarang ini banyak ummat Islam yang “tidak mengenal” Nabinya dan sedikit sekali pemimpin Islam yang mewarisi atau mencontoh kepemimpinan Nabinya.

Menurut saya, ucapan Aisyah itu bisa diartikan – wallahu a’lam – bahwa Nabi Muhammad saw merupakan pengejawantahan Al-Quran. Maka orang – apalagi yang tidak menangi Nabi Muhammad saw. – sebenarnya tak akan dapat mengenal Nabi Muhammad saw. Tanpa membaca dan memahami Al-Qur’an.

Semua anjuran, perintah, dan perilaku terpuji dalam Al-Qur’an seperti takwa, amal saleh, menegakkan kebenaran, memerangi kelaliman, membela kaum lemah, adil, berbudi, jujur, berkata benar, amar ma’ruf nahi munkar, dan seterusnya. Nabi Muhammad yang pertama-tama secara istiqomah melaksanakannya. Dan, semua larangan, pantangan, dan hal-hal buruk yang dikecam Al-Quran, seperti syirik, mengufuri nikmat, membunuh, mencuri, zina, kikir, dengki, tamak, serakah, berdusta, menghina sesama, dan hal-hal lain yang merendahkan martabat kemanusiaan. Nabi Muhammadlah yang pertama-tama dan secara istiqomah menjauhinya.

Maka anehkah apabila kemudian sebagai pemimpin, Nabi Muhammad saw begitu ditaati dengan kasih sayang – bukan karena terpaksa – oleh ummatnya? Pemimpin yang menganjurkan dan mencontohkan pengamalan anjurannya: yang melarang dan mencontohkan menjauhi larangannya, tentu sangat mudah diikuti dan ditaati. (Pada waktu Perang Khandaq, misalnya, para sahabat, dalam keadaan yang sulit dibawah terik matahari, menggali parit atas perintah Nabi, dengan penuh semangat. Ini tentu juga disebabkan karena sang pemimpin tidak sekedar memerintah, melainkan ikut bahkan mengawali mencontohkan dan membantu pelaksanaan perintahnya itu. Baca Sirat an-Nabi oleh Ibn Hisyam, III/ 231-5).

Watak kepemimpinan Nabi Muhammad saw lebih tegas lagi ditandaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang – anehnya? – dihafal luar kepala oleh hampir semua pemimpin, yang dianggap pemimpin maupun yang mengaku pemimpin umat. Yaitu yang pertama: “Laqadjaa akum rasuulun min anfusikum ‘aziizum alaihi ma’anittum hariishun ‘alaikum bil mu’miniina rayyfun rahiim (Benar-benar telah datang kepada kalian seorang utusan dari kalangan kalian sendiri yang berat terasa olehnya (tak tahan ia melihat) penderitaan kalian; sangat menginginkan (keselamatan dan kebahagiaan) bagi kalian; dan terhadap orang-orang yang beriman, penuh kasih sayang lagi penyayang.” (Q.s. 9: 128).

Konon banyak orang “luar” tak habis pikir, bagaimana ada pemimpin seperti Nabi Muhammad saw yang ditaati ummat sedemikian rupa, sehingga seandainya Nabi menyuruh mereka mencebur ke dalam lautan api pun, mereka dengan rela dan senang hati melaksanakannya. Justru saya yang akan tak habis pikir jika pemimpin yang seperti itu sifatnya tidak ditaati sedemikian rupa oleh ummatnya.

Nabi tak tahan melihat penderitaan umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Maka tak henti-hentinya Nabi menolong dan menyuruh ummatnya menolong mereka-mereka yang memerlukan pertolongan, menyantuni, dan menyuruh menyantuni fakir miskin, anak yatim, janda, dan kaum dhu’afa. Nabi tak tahan melihat penderitaan ummatnya, maka tak henti-hentinya Nabi berbuat ma’ruf, menjauhi kemungkaran, melakukan dan menganjurkan amar ma’ruf nahi munkar.

Nabi tidak tahan melihat penderitaan ummatnya. Nabi yang sudah dua hari tidak makan, ketika mendapatkan makanan, mendahulukan sahabatnya yang senasib. Nabi menangis ketika seorang bocah meninggal. Nabi menanyakan tukang sapu yang cukup lama tak kelihatan. Nabi menjenguk dan menganjurkan menjenguk dan mendo’akan orang sakit. Nabi melayat dan menganjurkan melayat. Bahkan ada riwayat yang menceritakan Nabi melayat seorang pecinta burung yang burungnya mati dan mendoakan agar segera mendapat ganti. Dan, Anda tentu pernah mendengar sabda Nabi Muhammad yang luar biasa ini: “Barang siapa meninggal dan meninggalkan warisan, maka ahli warisnyalah yang berhak atas warisan itu, namun bila meninggalkan utang, akulah yang menanggungnya.”
Bahkan soal ibadat, Nabi Muhammad senantiasa menjaga agar ummatnya tidak merasa terberati dan menganjurkan agar tidak memberatkan mereka.

Nabi yang suka – dan dalam rangka menganjurkan – menyikat gigi misalnya, memerlukan bersabda dengan ungkapan: Laulaa an asyuqqa ‘alaa ummatii laamrtuhun bissiwaaki…(Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka menyikat gigi…).

Salat malam kita ketahui merupakan ibadat rutin Nabi Muhammad di malam hari dan sangat dianjurkan. Mula-mula Nabi melakukannya di Masjid, namun ketika banyak orang mengikuti jejaknya, beberapa malam kemudian Nabi tidak keluar lagi melakukan salat malam ke Masjid. Menurut hadist shahih, ini dikarenakan Nabi khawatir salat itu menjadi wajib dan akan memberatkan. Ketika Mu’adz, seorang sahabat dekat Nabi, dilaporkan terlalu panjang membaca bacaan-bacaan salat menjadi imam, Nabi Muhammad “memarahi”nya. “Di belakangmu terdapat orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan,” sabda Nabi Muhammad memberi penjelasan.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain yang dapat Anda baca di Sirah Nabi Muhammad.

Juga sabda Nabi Muhammad: Yassiruu walaa tu’assiruu (Buat mudahlah dan jangan mempersulit), lebih memperjelas betapa Nabi Muhammad saw. Memang tidak suka memberati ummatnya.

Nabi yang begitu tak tahan melihat penderitaan ummatnya, yang begitu ingin ummatnya selamat dan berbahagia, yang begitu ingin ummatnya selamat dan berbahagia, yang begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang yang beriman, anehkah bila selalu mencontohkan dan menganjurkan kebenaran, kebaikan, keadilan, dan seterusnya serta menjauhi dan melarang perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan mencelakan diri sendiri dan orang lain?

Ayat yang lain – yang ditujukan kepada Nabi – menegaskan: Fabimaa rahmatin minallahi lintalahum…”Maka dengan rahmat dari Allah, engkau pun lemah-lembut terhadap mereka-ummatmu. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, niscaya mereka akan lari dari padamu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini (urusan perjuangan dan urusan-urusan duniawi lainnya). Kemudian apabila aku telah mantap, bertaqwallah kepada Allah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.” (Q.s. 3: 159).

Nah, apabila dua ayat di atas kita gabung, kita akan mendapatkan profil pribadi pemimpin agung yang bercirikan: Tidak tahan melihat penderitaan ummatnya, sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan ummatnya, sangat mengasihi dan menyayangi ummatnya, lemah-lembut terhadap ummatnya, memaafkan dan memohon ampun kesalahan ummatnya, mau bermusyawarah dengan ummatnya, dan bertawakal kepada Allah swt. Setelah bulat tekadnya.

Bagaimana dengan para pewarisnya? 

Minggu, 10 Juni 2012

kepala ikan sang nelayan
Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.
Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.
Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh,” ujar mereka.
Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.
Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi.
Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.
Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, “Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”
Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. “Lalu,” tanya nelayan itu, “apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?”
Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan gurunya sendiri.
Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.
“Dia benar,” jawab sang nelayan, “ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.
Sumber: syafii.wordpress.com.

Sabtu, 09 Juni 2012

Perilaku Kita


9 Maret 2006 22:13:36
Oleh:KH. A. Mustofa Bisri

Barangkali kita, khususnya yang tinggal di kota, memang terlalu sibuk. Urusan kita – untuk kepentingan kita sendiri – begitu banyak, sehingga jatah waktu yang 24 jam rasanya tidak cukup.

Coba hitung, berapa jam untuk mencari nafkah, untuk olah raga, rekreasi, , kerja sosial, istirahat, dan seterusnya.

Jadi, umumnya kita memang tak cukup punya waktu untuk njlimeti persoalan-persoalan yang tidak – atau tidak segera tampak – ada kaitannya langsung dengan kepentingan diri kita sendiri. Kiranya utuk persoalan-persoalan yang seperti itu, ‘partisipasi’ kita cukuplah dengan ikut meramaikan sambil lalu bersama mass media. Misalnya dengan sedikit ‘nyumbang’ pernyataan atau pendapat, sedikit usul atau kalau perlu protes dan demonstrasi. Nanti persoalan-persoalan itu pun akan selesai dengan sendirinya.

Mereka mempunyai ghirah, semangat, dan kepedulian yang besar terhadap agama pun, apabila – terdorong ghirah mereka untuk – menanggapi suatu persoalan, seringkali tidak sempat sekadar menengok tuntunan agama mereka sendiri itu mengenai bagaimana seharusnya menanggapi persoalan semacam. Bahkan dalam persoalan yang menyangkut agama, kalau pun ada ‘konsultasi’ sebelumnya, paling banter, ya kepada akal pikiran dan emosi – atau I’tiqad kelompok – sendiri; jarang yang sampai kepada Allah, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.

Ambilah contoh persoalan-persoalan yangn menyangkut ukhuwah Islamiyah dan mu’amalah bainan-naas. Kalaupun merujuk , misalnya, kepada firman Allah atau Rasulnya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kacamata hitam-putih” kita sendiri. Kita benci dulu kepada saudara kita, misalnya, lalu kita cari-cari dalil yang bisa mengaitkannya dengan hal-hal yang tidak disukai Allah. Dengan demikian akan mudah kita mengambil keputusan bahwa saudara kita itu dibenci Allah, karenanya perlu kita ganyang. Kita curiga dulu terhadap suatu kelompok, setelah itu mudah kita mencari argumentasi membabat setiap gagasan, atau bahkan sekedar pendapat dari kelompok tersebut.

Ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketimbang harus capek-capek mengatur diri agar obyektif, mengkaji masalah secara jernih, dan dengan lurus merujuk firman Allah atau sabda RasulNya.

Waba’du: Allah menyuruh kita- kaum mukminin-untuk menjauhi prasangka-prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing sesama (Q.S. 49:12). Tapi mana kita punya waktu untuk lebih dari sekedar berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain, kalau kita terlalu sibuk dengan diri kita dan kelompok kita sendiri?

Biasanya dengan dalih menegakkan kebenaran atau menjaga kesucian agama, prasangka larangan-larangan yang sudah digariskan Tuhan pun lalu dianggap halal dan dilupakan. Padahal menegakan kebenaran – bagi kaum beriman – pun ada cara dan rambu-rambunya (Q.S. 4:135 dan Q.S. 5:8). Ataukah kita juga tidak punya cukup waktu – atau na’udzubillah kita terlalu angkuh dan merasa tidak perlu – untuk mendengarkan firman Allah tentang sikap dan perilaku yang harus kita ambil dan jalani? Semoga Allah mengampuni kita.

Kesalehan Total


4 Juli 2006 17:39:53
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablun minallah.

Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.

Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minan nas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !” tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !” Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.

Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.

Kamis, 07 Juni 2012

Ummu Sulaim Contoh Wanita yang Cerdas

Pernah mendengar Ummu Sulaim, seorang perempuan tauladan yang sangat cerdas… menarik untuk di baca dan di tauladani kisahnya..
mari dibaca mbak ismi…
Ia seorang wanita keturunan bangsawan dari kabilah Anshar suku Khazraj memiliki sifat keibuan dan berwajah manis menawan. Selain itu ia juga berotak cerdas penuh kehati-hatian dalam bersikap, dewasa dan berakhlak mulia, sehingga dengan sifat-sifatnya yang istimewa itulah pamannya yang bernama Malik bin Nadhar melirik dan mempersuntingnya. Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah satu dari wanita saliha yang memiliki kedudukan istimewa di mata Rasulullah.
Pada saat Rasululllah menyerukan dakwah menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan dihadapinya dari masyarakat jahili paganis.
Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: “Engkau kini telah terperangkap dalam kemurtadan!”
“Saya tidak murtad. Justru saya kini telah beriman,” jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Melihat kesungguhan istrinya serta pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir bosan dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian ia dibunuh..
Saat mendengar kabar kematian suaminya dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata, “Saya akan tetap menyusui Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan sekali-kali saya tak ingin menikah lagi sampai Anas menyuruhku.”
Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum.
Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal. Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan dan rasa hormat,
“Tidak selayaknya saya menikah dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan menghanguskan patung-patung itu.”
Perkataan Ummu Sulaim amat telak menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima. Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia datang lagi menjumpai ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih wah serta kehidupan kelas atas.
Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah yag cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah. Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng daripada seluruh kenikmatan dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab, “Sesungguhnya saya tidak pantas menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa keinginan saya?”
“Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan,” kata Abu Thalhah. “Sedikitpun saya tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera memeluk agama Islam,” tukas Ummu Sualim tandas.
“Tetapi saya tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?” Tanya Abu Thalhah. “tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri,” tegas Ummu Sulaim.
Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mana saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya.”
Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun tegiur oleh kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hinnga tanpa terasa di hadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lisan Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran Anda, wahai Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya.”
Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Ana, “Bangunlah wahai Anas.”
Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit –seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, “Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keislaman suaminya.” Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam.
Abu Thalhah sendiri adalah seorang konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia cintai yaitu tanah perkebunan “Bairuha”. Tanah perkebunan itu letaknya persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian turun ayat yang berbunyi:
“Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)
Mendengar ayat ini, kontan Abu Thalhah menghadap Rasulullah. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, “Dan sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai Rasulullah.”
Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, “Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian.”
Abu Thalhah pun menuruti perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak familinya dan anak keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah memuliakan seorang anak laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair. Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Saat itu lewatlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur dan bertanya, “Wahai Abu Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung kecil?”
Namun takdir Allah memang tak mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh sakit sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah putra kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, putranya Abu Umair menghembuskan nafas terakhir.
Ummu Sulaim memang seorang ibu mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar berulang-ulang, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un.” Dengan suara berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, “Jangan sekali-kali kalian memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang memberitahunya.”
Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air mata kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana keadaan putraku sekarang?”
“Dia lebih tenang dari biasanya.” Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.
Abu Thalhah merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok putranya. Namun hatinya turut berbunga-bunga mengira putranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur bersama.
Setelah suaminya terlelap, Ummu Sulaim memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan suaminya perihal putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan seharian, sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur pulas.
Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim berbicara pada suaminya, seraya bertanya, “Wahai Abu Thalhah apa pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan mengembalikannya?”
“Tidak,” jawab Abu Thalhah.
“Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah menggunakannya?” “Wah, mereka benar-benar tidak waras,” Abu Thalhah menukas.
“Demikian pula putramu. Allah meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah ia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak, “Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda (berhadats karena berhubungan suami istri)?”
Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji Allah dengan hati yang tenang.
Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua.”
Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah subhanahu wa ta’ala juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu dikarenakan suatu peristiwa. Sampau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya
“Aku memasuki surga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya “Siapakah ini?” Penghuni surga spontan menjawab “Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibu Anas bin Malik.”
Selamat untukmu Ibunda Anas!

Ibnu Haitham

Posted under Tokoh ilmu Geometri by wahyudi on Tuesday 8 November 2011 at 10:59 am
Ibnu HaithamBapak ilmu optic pertama.
Abu ali Muhamad Al-Hassan Ibnu Al-Haitham Atau dikenal dengan nama Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah
Tahun 354 H (965 M). Ia memulai pendidikannya di kota basrah sebelum di lantik menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya. Setelah beberapa lama mengabdi beliau mengambil keputusannya untuk merantau ke Baghdad untuk menimba berbagai macam ilmu (agama, falak, matematika, fisika kedokteran) setelah itu beliau juga pergi ke Andalusi yang dikenal sebagai pusat peradaban dan kiblat pengetahuan Eropa waktu itu, di sinilah di mempelajari Ilmu tentang optic yang terkenal.
Beliau juga penah melakukan perjalanan ke mesir untuk menyelesaikan masalah banjir sungai Nil, di sini beliau banyka menyalin kitab – kitab matematika, falak, pengobatan dan falsafah, tidak heran beliau begitu ahli dalam berbagai ilmu tersebut
Pemikiran- pemikiran Ibnu Haitham
Beberapa karya tulis beliau menjadi rujukan sains di duinia barat, salah satu kajian Ibnu Haitham mengenai pengobatan mata menjadi pondasi pengobatan mata modern.
Beberapa karyanya mengenai cahaya juga di terjemahkan dalam bahasa inggris dengan judul “light on Twilight Phenomenon”, kajian ini banyak membahas senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang – bayang gerhana. Menurut Ibnu Haitham cahaya fajar muncul saat matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur dan warna merah pada senja akan hilang saat matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat, dalam kajian itu Ibnu Haitham menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembelokan cahaya.
Ibnu Haitham juga melakukan percobaan terhadap kaca yang di bakar dan dari situ muncul teori lensa pembesar yang di gunakan seorang ilmuwan Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia.
Yang paling menakjubkan adalah ibnu Haitham berhasil menemukan teori kubik, yaitu prinsip isi kubik udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricellea menemukannya 500 tahun kemudian.
Ibnu Haitham juga menemukan adanya gravitasi jauh sebelum Issac Newton. Selain itu teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung secara teratur, yang memberikan ilham kepada dunia barat tetntang bayangan gambar, teorinya ini merupakan cikal bakal penemuan “Film”’
Selain Sins Ibnu Haitham juga banyak menulis karya di bidang filsafat, logika, metafizik dan masalah keagamaan, bagi Ibnu Haitham masalah filsafat tidak boleh dipisahkan dari sains matematik dan ketuhanan, ketiga ilmu ini harus di kuasai dengan baik jika ingin menemukan kebenaran.
Karya Ibnu Haitham
Beberapa karya Ibnu Haitham Antara lain :
Kitab Al-Manazir (Book of Optic) 1021 M, 600 tahun sebelum kelahiran Kepler, kitab ini membahas tentang sebab terbalik penglihatan mata dengan mengetahui kejadian yang didasarkan pada penglihtan melalui garis sinar bagian atas yang di lakukan orang yang melihatnya, sedang bagian bawah terlihat setelah terjadi sesuatu yang terbalik sehungga benda yang besar Nampak dekat dan benda yang kecil Nampak jauh, Ibnu haitham juga menolak teori Ptolemy dan Euclid bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya dari matanya, karena mata manusia bisa melihat benda akibat adanya cahaya yang jatuh ke mata.
Kitab Al-Jami fi usul Al Hisab, membahas ilmu matematika.
Kitab Al-Tahlil wa Al-Takrib, membahas Ilmu Geometri.
Kitab Tahlil al_masa’il Al Adadiyah, tentang Al Jabar.
Maqalah fi istikraj simat Al Qiblah, Mengupas tentang arah kiblat.
Maqalah fima tad’ullah, membahas penggunaan geometri dalam hukum syarak.
Maqalah fi Sina’at Al Syi’ir, membahas tentang telknik penulisan puisi.
Pengakuan Atas karya Ibnu Haitham
Rl Verma dalam bukuna “Al Hazen :Bapak modern optic” menjulukinya sebagai bapak optic modern, Rosana Gorini dalam tuisannya “Al Haytham the man of experience”, menyebutnya sebagai pelopor metode ilmiah modern. Al Qanuji mengatakan bahwa banyak ilmuwan dari yunani yang menulis tenteng optic tapi masih kalah dengan Ibnu Haitham.
Kajian dari Ibnu Haitham telah banyak memberikan landasan bagi dunia sains modern dan perkembangan sains dan beberpa pandangan dan oendapatnya masih relevan hingga sekarang.

Rabu, 06 Juni 2012


BAYAZID DAN ORANG YANG MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI  

Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa mendapatkan kesenangan juga.   "Mengapa begitu?" tanya Si Sok-Saleh.   "Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu."   "Coba katakan apa obatnya."   "Obatnya tak akan bisa kau laksanakan."   "Bagaimanapun, katakan sajalah."   Bayazid pun berkata, "Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, 'akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.' Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar semua orang menyaksikanmu."   "Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya."   "Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara," kata Bayazid, "Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya; jadi tak ada obat bagimu."

Catatan   Al-Ghazali, dalam Alkemia Kebahagiaan, mempergunakan ibarat ini untuk menekankan pernyataan yang sering diulang-ulangnya bahwa sementara orang, betapapun jujur tampaknya usaha mencari kebenaran itu bagi dirinya sendiri -dan bahkan mungkin juga bagi orang lain- nyatanya kadang-kadang didasari kesombongan atau mencari untung sendiri, hal-hal yang merupakan halangan utama bagi pencarian kebenarannya.

 K I S A H - K I S A H S U F I Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono) Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984

Minggu, 03 Juni 2012

mata sering menipu kita

Seorang lelaki yang sangat tampan dan sempurna merasa bahwa Tuhan pasti menciptakan seorang perempuan yg sangat cantik dan sempurna pula untuk jodohnya.
Karena itu ia pergi berkeliling untuk mencari jodohnya. Kemudian sampailah ia disebuah desa. Ia bertemu dengan seorang petani yg memiliki 3 anak perempuan dan semuanya sangat cantik. Lelaki tersebut menemui bapak petani dan mengatakan bahwa ia ingin mengawini salah satu anaknya tapi bingung; mana yang paling sempurna.
Sang Petani menganjurkan untuk berkenalan lebih jauh dulu dengan mereka satu persatu dan si Lelaki setuju. Hari pertama ia pergi berduaan dengan anak pertama. Ketika pulang,ia berkata kepada bapak Petani,”Anak pertama bapak memiliki satu cacat kecil, yaitu jempol kaki kirinya lebih kecil dari jempol kanan.”
Hari berikutnya ia pergi dengan anak yang kedua dan ketika pulang dia berkata,”Anak kedua bapak juga punya cacat yang sebenarnya sangat kecil yaitu agak juling.”
Akhirnya pergilah ia dengan anak yang ketiga. Begitu pulang ia dengan gembira mendatangi Petani dan berkata,”inilah yang saya cari-cari. Ia benar-benar sempurna.”
Lalu menikahlah si Lelaki dgn anak ketiga Petani tersebut. Sembilan bulan kemudian si Istri melahirkan. dengan penuh kebahagian, si Lelaki menyaksikan kelahiran anak pertamanya. Ketika si anak lahir, Ia begitu kaget dan kecewa karena anaknya sangatlah jelek. Ia menemui bapak Petani dan bertanya “Kenapa bisa terjadi seperti ini Pak. Anak bapak cantik dan saya Tampan, Kenapa anak saya bisa sejelek itu..?”"
Petani menjawab,” Ia mempunyai satu cacat kecil yang tidak kelihatan . Waktu itu Ia sudah hamil duluan…..”

Kadangkala saat kita mencari kesempurnaan, yang kita dapat kemudian kekecewaan. 
Tetapi kala kita siap dengan kekurangan, maka segala sesuatunya akan terasa istimewa.

nilai dari sebuah usaha

Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah “Kakek Penjual Amplop di ITB”.
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang Kakek tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun Kakek itu tetap menjual amplop. Mungkin Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran Kakek tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran Kakek tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Kakek itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si Kakek tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, Kakek tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat Kakek tua itu untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.
Si Kakek tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si Kakek tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si Kakek tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan ekonomi lemah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, amiin

Menelan jeruk masam demi memberi kesan Manis


Suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang wanita kafir. Ketika itu baginda bersama beberapa orang sahabat. Wanita itu membawa beberapa biji buah jeruk sebagai hadiah untuk baginda. indah sekali warna jeruk tersebut Siapa yang melihat pasti terliur. Baginda menerimanya dengan senyuman gembira. Hadiah itu dimakan oleh Rasulullah SAW satu demi satu dengan tersenyum.
Biasanya Rasulullah SAW akan makan bersama para sahabat, namun kali ini tidak. Tidak satu pun jeruk itu diberikan kepada mereka. Rasulullah SAW terus makan. Setiap kali dengan senyuman, hinggalah habis semua jeruk itu. Kemudian wanita itu meminta diri untuk pulang, diiringi ucapan terima kasih dari baginda.
Sahabat-sahabat agak heran dengan sikap Rasulullah SAW itu. Lalu mereka bertanya. Dengan tersenyum Rasulullah SAW menjelaskan “Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu masam. ketika pertama kali saya merasainya Kiranya jika kalian ikut makan bersama, saya ragu ada di antara kalian yang akan mengernyitkan mata atau memarahi wanita tersebut. Saya takut hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya.”
Begitulah akhlak Rasulullah SAW. Baginda tidak akan memperkecil-kecilkan pemberian seseorang biarpun benda yang tidak baik, dan dari orang bukan Islam pula. Wanita kafir itu pulang dengan hati yang kecewa. Mengapa? Sebenarnya dia bertujuan ingin mempermain-mainkan Rasulullah SAW dan para sahabat baginda dengan hadiah limau masam itu. Malangnya tidak berjaya. Rancangannya di’tewas’kan oleh akhlak mulia Rasulullah SAW.

Sabtu, 02 Juni 2012

cita-cita kyia besar

Aku pengen ketemu Kyai Salam”, kata Kyai Hasyim Asy’ari. Kyai Nawawi pun mengantarkan.

Kyai Abdussalam rahimahullah adalah ayahanda dari Kyai Abdullah Salam dan kakek dari Kyai Sahal Mahfudh.

Sampai di kediaman Kyai Salam, didapati tuan rumah sedang mengajar anak-anak kecil mengaji. Kyai Hasyim serta-merta menahan langkah, menyembunyikan diri dari pandangan Kyai Salam, dan menunggu. Setelah semua anak-anak kecil itu selesai ngajinya, barulah Kyai Hasyim mengucap salam, yang lantas disambut dengan suka-cita luar biasa.

Meninggalkan kediaman Kyai Salam, Kyai Hasyim kelihatan ngungun. Air matanya mengambang.

“Ada apa, ‘Yai?” Kyai Nawawi keheranan.

Kiyai Hasyim mengendalikan tangisnya, menghela napas dalam-dalam.

“Aku punya cita-cita sudah sejak sangat lama… tapi sampai sekarang belum mampu melaksanakan… Kyai Salam malah sudah istiqomah… Aku iri…”

“Cita-cita apa, ‘Yai?”

“Ta’liimush shibyaan…” (Mengajar anak-anak kecil).