Rasulullah manusia dermawan
Sayyidina Umar bin Khatta
bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui
Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan
harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak,
aku yang akan
membayarnya.”
Umar lalu berkata, “Wahai
Rasulullah janganlah
memberi diluar batas
kemampuanmu.” Rasulullah
tidak menyukai perkataan
Umar tadi. Tiba-tiba, datang
seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut,
terus saja berinfak. Jangan
khawatir dengan
kemiskinan.” Mendengar
ucapan laki-laki tadi,
Rasulullah tersenyum, lalu
beliau berkata kepada
Umar, “Ucapan itulah yang
diperintahkan oleh Allah
kepadaku.” (HR Turmudzi).
Jubair bin Muth’im bertutur,
ketika ia bersama Rasulullah
SAW, tiba-tiba orang-orang
mencegat beliau dan
meminta dengan setengah
memaksa sampai-sampai
beliau disudutkan ke sebuah
pohon berduri.
Kemudian salah seorang
dari mereka mengambil
mantelnya. Rasulullah
berhenti sejenak dan
berseru, ”Berikan mantelku
itu padaku! Itu untuk
menutup auratku.
Seandainya aku mempunyai
mantel banyak (lebih dari
satu), tentu akan kubagikan
pada kalian.” (HR. Bukhari)
Ummu Salamah, istri
Rasulullah SAW bercerita,
suatu hari Rasulullah masuk
ke rumahku dengan muka
pucat. Aku khawatir beliau
sedang sakit. “Ya Rasulullah,
mengapa wajahmu pucat
begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab, ”Aku
pucat begini bukan karena
sakit, melainkan karena aku
ingat uang tujuh dinar yang
kita dapat kemarin sampai
sore ini masih berada di
bawah kasur dan kita belum
menginfakkannya.” (HR Al-
Haitsami dan hadistnya
sahih).
Aisyah berkata, suatu hari,
ketika sakit, Rasulullah SAW
menyuruhku bersedekah
dengan uang tujuh dinar
yang disimpannya di rumah.
Setelah menyuruhku
bersedekah, beliau lalu
pingsan. Ketika sudah
siuman, Rasulullah bertanya
kembali: “Uang itu sudah
kau sedekahkan?”
“Belum, karena aku kemarin
sangat sibuk,” jawabku.
Rasulullah bersabda,
“Mengapa bisa begitu, ambil
uang itu!”
Begitu uang itu sudah di
hadapannya, Rasulullah lalu
bersabda, “Bagaimana
menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal,
sementara aku masih
mempunyai uang yang
belum kusedekahkan? Uang
ini tidak akan
menyelamatkan Muhammad
seandainya ia meninggal
sekarang, sementara ia
mempunyai uang yang
belum disedekahkan.” (HR
Ahmad).
Sahl bin Sa’ad bertutur,
suatu hari datang seorang
perempuan menghadiahkan
kepada Nabi Saw sepotong
syamlah yang ujungnya
ditenun (syamlah adalah
baju lapang yang menutup
seluruh badan). Perempuan
itu berkata, “Ya Rasulullah,
akulah yang menenun
syamlah ini dan aku hendak
menghadiahkannya kepada
Engkau.” Rasulullah pun
sangat menyukainya. Tanpa
banyak bicara, beliau
langsung mengambil dan
memakainya dengan sangat
gembira dan berterima kasih
kepada wanita itu.
Rasulullah betul-betul
sangat membutuhkan dan
menyukai syamlah tersebut.
Tidak lama setelah wanita itu
pergi, tiba-tiba datang
seorang laki-laki meminta
syamlah tersebut. Rasulullah
pun memberikannya. Para
sahabat yang lain lalu
mengecam laki-laki tersebut.
Mereka berkata, “Hai Fulan,
Rasulullah sangat menyukai
syamlah tersebut, mengapa
kau memintanya? Kau kan
tahu Rasulullah tidak pernah
tidak memberi kalau
diminta?” Laki-laki itu
menjawab, “Aku
memintanya bukan untuk
dipakai sebagai baju,
melainkan untuk kain
kafanku nanti kalau aku
meninggal.” Tidak lama
kemudian, laki-laki itu
meninggal dan syamlah
tersebut menjadi kain
kafannya. (HR Bukhari).
Beberapa kisah di atas
hanyalah sebutir jejak
kedermawanan Nabi
Muhammad SAW.
Kisah-
kisah lainnya bagaikan
gunung pasir tertinggi yang
takkan pernah sanggup
diimbangi oleh siapapun,
termasuk para sahabat-
sahabat terdekatnya di masa
beliau masih hidup.
Sahabat-sahabat Rasulullah
hanya bisa meniru
kedermawanan yang
diajarkan Baginda Rasul itu,
yang kemudian menambah
panjang jejak sejarah
kedermawanan yang
dicontohkan Nabi dan para
sahabatnya.
Lihatlah Thalhah bin
Ubaidillah, seorang sahabat
yang kaya raya namun
pemurah dan dermawan“Sungai yang airnya
mengalir terus menerus
mengairi dataran dan
lembah” adalah lukisan
tentang kedermawanan
seorang Thalhah. Isterinya
bernama Su’da binti Auf.
Pada suatu hari isterinya
melihat Thalhah sedang
murung dan duduk
termenung sedih. Melihat
keadaan suaminya, sang
isteri segera menanyakan
penyebab kesedihannya dan
Thalhah mejawab, “Uang
yang ada di tanganku
sekarang ini begitu banyak
sehingga memusingkanku.
Apa yang harus kulakukan?”
Maka istrinya berkata,
“Uang yang ada di
tanganmu itu bagi-
bagikanlah kepada fakir
miskin.” Maka dibagi-
baginyalah seluruh uang
yang ada di tangan Thalhah
tanpa meninggalkan
sepeserpun.
Assaib bin Zaid berkata
tentang Thalhah, “Aku
berkawan dengan Thalhah
baik dalam perjalanan
maupun sewaktu bermukim.
Aku melihat tidak ada
seorangpun yang lebih
dermawan dari dia terhadap
kaum muslimin. Ia
mendermakan uang,
sandang dan pangannya.”
Jaabir bin Abdullah bertutur,
“Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih dermawan
dari Thalhah walaupun
tanpa diminta.” Oleh karena
itu patutlah jika dia dijuluki
“Thalhah si dermawan”,
“Thalhah si pengalir harta”,
“Thalhah kebaikan dan
kebajikan”.
Sahabat lain yang mengukir
jejak indah kedermawanan
mencontoh Nabi adalah
Tsabit bin Dahdah yang
memiliki kebun yang bagus,
berisi 600 batang kurma
kualitas terbaik. Begitu turun
firman Allah, “Siapakah yang
mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan
melipatgandakan
(pembayaran) pinjaman itu
untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang
banyak.” (Al-Hadid: 11). Dia
bergegas mendatangi
Rasulullah untuk bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah Allah
ingin meminjam dari
hambanya?”
“Benar,” jawab Rasulullah.
Spontan Tsabit bin Dahdah
mengacungkan tangannya
seraya berkata, “Ulurkanlah
tangan Anda, wahai
Rasulullah.”
Rasulullah mengulurkan
tangannya, dan langsung
disambut oleh Tsabit bin
Dahdah sambil berkata,
“Aku menjadikan Anda
sebagai saksi bahwa
kupinjamkan kebunku
kepada Allah.”
Tsabit sangat gembira
dengan keputusannya itu.
Dalam perjalanan pulang dia
mampir ke kebunnya.
Dilihatnya isteri dan anak-
anaknya sedang bersantai di
bawah pepohonan yang
sarat dengan buah.
Dari pintu kebun,
Dipanggillah sang isteri, “Hai
Ummu Dahdah! Ummu
Dahdah! Cepat keluar dari
kebun ini, Aku sudah
meminjamkan kebun ini
kepada Allah!” Isterinya
menyambut dengan suka
cita, “Engkau tidak rugi,
suamiku, engkau beruntung,
engkau sungguh
beruntung!” Segera
dikeluarkannya kurma yang
ada di mulut anak-anaknya
seraya berkata, “Ayahmu
sudah meminjamkan kebun
ini kepada Allah.”
Ibnu Mas’ud menceritakan
bahwa Rasulullah bersabda,
“Berapa banyak pohon sarat
buah yang kulihat di surga
atas nama Abu Dahdah.”
Artinya, Allah memberi
Tsabit bin Dahdah pohon-
pohon yang berbuah lebat
di surga sebagai ganti atas
pemberiannya kepada-Nya
di dunia.
Indah nian jejak-jejak
kedermawanan Nabi
Muhammad SAW, lebih
indah lagi apa-apa yang
dijanjikan Allah atas apa
yang diberikan di jalan-Nya.
Karenanya, seluruh sahabat
pada masa itu berlomba-
lomba mengikuti jejak Nabi
dalam segala hal, termasuk
tentang kedermawanan.
Semoga, jejak
kedermawanan itu terus
terukir pada ummat
Muhammad hingga kini
selama kita masih terus
meleburkan diri pada rantai
jejak indah itu, dan
mengajarkannya kepada
anak-anak dan penerus
kehidupan ini.
semoga cerita ini bisa menjadi acuan berfikir dalam melangkah mengarungi samudra kehidupan ini
Sabtu, 21 Juli 2012
kekuatan Allah
dahulu kala pada Suatu pagi, ada seorang laki-laki tua pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal dengan cara menjala ikan di laut. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, “Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor ikan laut.”
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa nelayan itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Nelayan.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya infeksi ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka.
Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya
menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa/psikiater (ahli hikmah).
Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari Nelayan itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, “Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai Nelayan itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat.”
Dicarinya nelayan itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Nelayan itu memaafkan semua kesalahannya. Si Nelayan pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Nelayan ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, “Wahai nelayan, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?”
Nelayan itu menjawab, “Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!”‘
Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja’far Ash Shadiq)
Senin, 02 Juli 2012
Pesankan Saya Tempat di Neraka
Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.
Sumber : majelisalanwar
Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.
Sumber : majelisalanwar
ibnu hajar dan seorang yahudi
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.
Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.
Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)