Jumat, 15 Juni 2012

Kemanusiaan Sebagai Watak Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW

20 April 2006 22:00:53
Oleh: A. Mustofa Bisri

Ketika Sayyidatina Aisyah r.a. ditanya tentang suaminya Nabi Muhammad saw, jawabnya sungguh cekak aos, “Kaana khuluquhu Al-Quran.” (Pekertinya adalah Al-Qur’an). Benar-benar cekak aos, singkat tapi cukup atau penuh makna.

Jawaban ini, selain menunjukkan tingkat kecerdasan Aisyah yang tinggi, juga membuktikan tingkat pemahaman yang luar biasa dari putri sahabat Abu Bakar itu terhadap Al-Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad saw. Maklum murid dan istri kinasih Nabi.

Kiranya jawaban singkat tersebut – dengan sedikit berputar-putar – dapat pula dijadikan kunci jawaban apabila ada yang mempertanyakan kenapa sekarang ini banyak ummat Islam yang “tidak mengenal” Nabinya dan sedikit sekali pemimpin Islam yang mewarisi atau mencontoh kepemimpinan Nabinya.

Menurut saya, ucapan Aisyah itu bisa diartikan – wallahu a’lam – bahwa Nabi Muhammad saw merupakan pengejawantahan Al-Quran. Maka orang – apalagi yang tidak menangi Nabi Muhammad saw. – sebenarnya tak akan dapat mengenal Nabi Muhammad saw. Tanpa membaca dan memahami Al-Qur’an.

Semua anjuran, perintah, dan perilaku terpuji dalam Al-Qur’an seperti takwa, amal saleh, menegakkan kebenaran, memerangi kelaliman, membela kaum lemah, adil, berbudi, jujur, berkata benar, amar ma’ruf nahi munkar, dan seterusnya. Nabi Muhammad yang pertama-tama secara istiqomah melaksanakannya. Dan, semua larangan, pantangan, dan hal-hal buruk yang dikecam Al-Quran, seperti syirik, mengufuri nikmat, membunuh, mencuri, zina, kikir, dengki, tamak, serakah, berdusta, menghina sesama, dan hal-hal lain yang merendahkan martabat kemanusiaan. Nabi Muhammadlah yang pertama-tama dan secara istiqomah menjauhinya.

Maka anehkah apabila kemudian sebagai pemimpin, Nabi Muhammad saw begitu ditaati dengan kasih sayang – bukan karena terpaksa – oleh ummatnya? Pemimpin yang menganjurkan dan mencontohkan pengamalan anjurannya: yang melarang dan mencontohkan menjauhi larangannya, tentu sangat mudah diikuti dan ditaati. (Pada waktu Perang Khandaq, misalnya, para sahabat, dalam keadaan yang sulit dibawah terik matahari, menggali parit atas perintah Nabi, dengan penuh semangat. Ini tentu juga disebabkan karena sang pemimpin tidak sekedar memerintah, melainkan ikut bahkan mengawali mencontohkan dan membantu pelaksanaan perintahnya itu. Baca Sirat an-Nabi oleh Ibn Hisyam, III/ 231-5).

Watak kepemimpinan Nabi Muhammad saw lebih tegas lagi ditandaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang – anehnya? – dihafal luar kepala oleh hampir semua pemimpin, yang dianggap pemimpin maupun yang mengaku pemimpin umat. Yaitu yang pertama: “Laqadjaa akum rasuulun min anfusikum ‘aziizum alaihi ma’anittum hariishun ‘alaikum bil mu’miniina rayyfun rahiim (Benar-benar telah datang kepada kalian seorang utusan dari kalangan kalian sendiri yang berat terasa olehnya (tak tahan ia melihat) penderitaan kalian; sangat menginginkan (keselamatan dan kebahagiaan) bagi kalian; dan terhadap orang-orang yang beriman, penuh kasih sayang lagi penyayang.” (Q.s. 9: 128).

Konon banyak orang “luar” tak habis pikir, bagaimana ada pemimpin seperti Nabi Muhammad saw yang ditaati ummat sedemikian rupa, sehingga seandainya Nabi menyuruh mereka mencebur ke dalam lautan api pun, mereka dengan rela dan senang hati melaksanakannya. Justru saya yang akan tak habis pikir jika pemimpin yang seperti itu sifatnya tidak ditaati sedemikian rupa oleh ummatnya.

Nabi tak tahan melihat penderitaan umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Maka tak henti-hentinya Nabi menolong dan menyuruh ummatnya menolong mereka-mereka yang memerlukan pertolongan, menyantuni, dan menyuruh menyantuni fakir miskin, anak yatim, janda, dan kaum dhu’afa. Nabi tak tahan melihat penderitaan ummatnya, maka tak henti-hentinya Nabi berbuat ma’ruf, menjauhi kemungkaran, melakukan dan menganjurkan amar ma’ruf nahi munkar.

Nabi tidak tahan melihat penderitaan ummatnya. Nabi yang sudah dua hari tidak makan, ketika mendapatkan makanan, mendahulukan sahabatnya yang senasib. Nabi menangis ketika seorang bocah meninggal. Nabi menanyakan tukang sapu yang cukup lama tak kelihatan. Nabi menjenguk dan menganjurkan menjenguk dan mendo’akan orang sakit. Nabi melayat dan menganjurkan melayat. Bahkan ada riwayat yang menceritakan Nabi melayat seorang pecinta burung yang burungnya mati dan mendoakan agar segera mendapat ganti. Dan, Anda tentu pernah mendengar sabda Nabi Muhammad yang luar biasa ini: “Barang siapa meninggal dan meninggalkan warisan, maka ahli warisnyalah yang berhak atas warisan itu, namun bila meninggalkan utang, akulah yang menanggungnya.”
Bahkan soal ibadat, Nabi Muhammad senantiasa menjaga agar ummatnya tidak merasa terberati dan menganjurkan agar tidak memberatkan mereka.

Nabi yang suka – dan dalam rangka menganjurkan – menyikat gigi misalnya, memerlukan bersabda dengan ungkapan: Laulaa an asyuqqa ‘alaa ummatii laamrtuhun bissiwaaki…(Seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka menyikat gigi…).

Salat malam kita ketahui merupakan ibadat rutin Nabi Muhammad di malam hari dan sangat dianjurkan. Mula-mula Nabi melakukannya di Masjid, namun ketika banyak orang mengikuti jejaknya, beberapa malam kemudian Nabi tidak keluar lagi melakukan salat malam ke Masjid. Menurut hadist shahih, ini dikarenakan Nabi khawatir salat itu menjadi wajib dan akan memberatkan. Ketika Mu’adz, seorang sahabat dekat Nabi, dilaporkan terlalu panjang membaca bacaan-bacaan salat menjadi imam, Nabi Muhammad “memarahi”nya. “Di belakangmu terdapat orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan,” sabda Nabi Muhammad memberi penjelasan.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain yang dapat Anda baca di Sirah Nabi Muhammad.

Juga sabda Nabi Muhammad: Yassiruu walaa tu’assiruu (Buat mudahlah dan jangan mempersulit), lebih memperjelas betapa Nabi Muhammad saw. Memang tidak suka memberati ummatnya.

Nabi yang begitu tak tahan melihat penderitaan ummatnya, yang begitu ingin ummatnya selamat dan berbahagia, yang begitu ingin ummatnya selamat dan berbahagia, yang begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang yang beriman, anehkah bila selalu mencontohkan dan menganjurkan kebenaran, kebaikan, keadilan, dan seterusnya serta menjauhi dan melarang perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan mencelakan diri sendiri dan orang lain?

Ayat yang lain – yang ditujukan kepada Nabi – menegaskan: Fabimaa rahmatin minallahi lintalahum…”Maka dengan rahmat dari Allah, engkau pun lemah-lembut terhadap mereka-ummatmu. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, niscaya mereka akan lari dari padamu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini (urusan perjuangan dan urusan-urusan duniawi lainnya). Kemudian apabila aku telah mantap, bertaqwallah kepada Allah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.” (Q.s. 3: 159).

Nah, apabila dua ayat di atas kita gabung, kita akan mendapatkan profil pribadi pemimpin agung yang bercirikan: Tidak tahan melihat penderitaan ummatnya, sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan ummatnya, sangat mengasihi dan menyayangi ummatnya, lemah-lembut terhadap ummatnya, memaafkan dan memohon ampun kesalahan ummatnya, mau bermusyawarah dengan ummatnya, dan bertawakal kepada Allah swt. Setelah bulat tekadnya.

Bagaimana dengan para pewarisnya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar