Sabtu, 21 Juli 2012

 Rasulullah manusia dermawan

Sayyidina Umar bin Khatta bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan  harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Umar lalu berkata, “Wahai  Rasulullah janganlah  memberi diluar batas  kemampuanmu.” Rasulullah tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi). Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba orang-orang mencegat beliau dan meminta dengan setengah memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Kemudian salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah berhenti sejenak dan berseru, ”Berikan mantelku
itu padaku! Itu untuk menutup auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu akan kubagikan pada kalian.” (HR. Bukhari)
Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW bercerita, suatu hari Rasulullah masuk ke rumahku dengan muka
pucat. Aku khawatir beliau sedang sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab, ”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR Al- Haitsami dan hadistnya sahih).
Aisyah berkata, suatu hari, ketika sakit, Rasulullah SAW menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpannya di rumah. Setelah menyuruhku bersedekah, beliau lalu pingsan. Ketika sudah siuman, Rasulullah bertanya kembali: “Uang itu sudah kau sedekahkan?” “Belum, karena aku kemarin sangat sibuk,” jawabku. Rasulullah bersabda, “Mengapa bisa begitu, ambil uang itu!” Begitu uang itu sudah di hadapannya, Rasulullah lalu bersabda, “Bagaimana
menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara aku masih mempunyai uang yang belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang, sementara ia mempunyai uang yang belum disedekahkan.” (HR Ahmad).
Sahl bin Sa’ad bertutur, suatu hari datang seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi Saw sepotong
syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah adalah baju lapang yang menutup seluruh badan). Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, akulah yang menenun syamlah ini dan aku hendak menghadiahkannya kepada Engkau.” Rasulullah pun sangat menyukainya. Tanpa banyak bicara, beliau langsung mengambil dan memakainya dengan sangat gembira dan berterima kasih kepada wanita itu. Rasulullah betul-betul sangat membutuhkan dan menyukai syamlah tersebut. Tidak lama setelah wanita itu pergi, tiba-tiba datang seorang laki-laki meminta syamlah tersebut. Rasulullah pun memberikannya. Para sahabat yang lain lalu mengecam laki-laki tersebut. Mereka berkata, “Hai Fulan, Rasulullah sangat menyukai syamlah tersebut, mengapa kau memintanya? Kau kan tahu Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Laki-laki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku
meninggal.” Tidak lama kemudian, laki-laki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya. (HR Bukhari).
Beberapa kisah di atas hanyalah sebutir jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW.
Kisah- kisah lainnya bagaikan gunung pasir tertinggi yang takkan pernah sanggup diimbangi oleh siapapun,
termasuk para sahabat- sahabat terdekatnya di masa beliau masih hidup. Sahabat-sahabat Rasulullah
hanya bisa meniru kedermawanan yang diajarkan Baginda Rasul itu, yang kemudian menambah panjang jejak sejarah kedermawanan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya.
 Lihatlah Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat yang kaya raya namun pemurah dan dermawan“Sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah” adalah lukisan tentang kedermawanan
seorang Thalhah. Isterinya bernama Su’da binti Auf. Pada suatu hari isterinya
melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat
keadaan suaminya, sang isteri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan
Thalhah mejawab, “Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak
sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan?”
Maka istrinya berkata, “Uang yang ada di tanganmu itu bagi-
bagikanlah kepada fakir miskin.” Maka dibagi- baginyalah seluruh uang
yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata
tentang Thalhah, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.” Jaabir bin Abdullah bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.” Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”. Sahabat lain yang mengukir jejak indah kedermawanan mencontoh Nabi adalah Tsabit bin Dahdah yang memiliki kebun yang bagus, berisi 600 batang kurma kualitas terbaik. Begitu turun firman Allah, “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (pembayaran) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 11). Dia bergegas mendatangi Rasulullah untuk bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Allah ingin meminjam dari hambanya?” “Benar,” jawab Rasulullah. Spontan Tsabit bin Dahdah mengacungkan tangannya seraya berkata, “Ulurkanlah tangan Anda, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengulurkan tangannya, dan langsung disambut oleh Tsabit bin Dahdah sambil berkata,
“Aku menjadikan Anda sebagai saksi bahwa kupinjamkan kebunku kepada Allah.” Tsabit sangat gembira dengan keputusannya itu. Dalam perjalanan pulang dia mampir ke kebunnya.
Dilihatnya isteri dan anak- anaknya sedang bersantai di bawah pepohonan yang sarat dengan buah. Dari pintu kebun, Dipanggillah sang isteri, “Hai Ummu Dahdah! Ummu
Dahdah! Cepat keluar dari kebun ini, Aku sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah!” Isterinya
menyambut dengan suka cita, “Engkau tidak rugi, suamiku, engkau beruntung,
engkau sungguh beruntung!” Segera dikeluarkannya kurma yang
ada di mulut anak-anaknya seraya berkata, “Ayahmu sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah.” Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Berapa banyak pohon sarat buah yang kulihat di surga atas nama Abu Dahdah.” Artinya, Allah memberi Tsabit bin Dahdah pohon- pohon yang berbuah lebat di surga sebagai ganti atas pemberiannya kepada-Nya di dunia. Indah nian jejak-jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW, lebih indah lagi apa-apa yang dijanjikan Allah atas apa yang diberikan di jalan-Nya.
Karenanya, seluruh sahabat pada masa itu berlomba- lomba mengikuti jejak Nabi
dalam segala hal, termasuk tentang kedermawanan. Semoga, jejak kedermawanan itu terus terukir pada ummat Muhammad hingga kini selama kita masih terus meleburkan diri pada rantai jejak indah itu, dan mengajarkannya kepada anak-anak dan penerus kehidupan ini.

kekuatan Allah


dahulu kala pada Suatu pagi, ada seorang laki-laki tua pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal dengan cara menjala ikan di laut. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, “Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor ikan laut.”
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa nelayan itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Nelayan.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya infeksi ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka.
Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya
menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa/psikiater (ahli hikmah).
Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari Nelayan itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, “Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai Nelayan itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat.”
Dicarinya nelayan itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Nelayan itu memaafkan semua kesalahannya. Si Nelayan pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Nelayan ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, “Wahai nelayan, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?”
Nelayan itu menjawab, “Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!”‘
Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja’far Ash Shadiq)

Senin, 02 Juli 2012

Pesankan Saya Tempat di Neraka


Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.


Sumber : majelisalanwar
ibnu hajar dan seorang yahudi
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.

Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.

Kamis, 28 Juni 2012

GURU MU

by. H.R. Taufiqurrahman.MA


Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil Bangkalan  untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.

Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara. Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad, selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata, untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.

Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para hadirin.

Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.

Setelah kurang lebih 30 menit berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad berkata:

"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai Basori nika, guruna be'en kabbih".

"Saudara-saudara! Ingat, Kiai Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".

Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".

Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah perjuangan demi al-Quran.

Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi, kontan saja para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai guru mereka semua.

Menyadari hal itu, syahdan para penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000 rupiah.

Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak tahu hormat terhadap ahli ilmu.

Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.

Hingga kini, di setiap acara haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa? Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori sebagai Sang Guru Quran.

Sekali seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul Ilmi.

Jumat, 22 Juni 2012

SUKSES adalah proses

Sukses adalah dinilai dari sebuah proses, bukan hasil akhir.
Success is a journey”. Sukses adalah perjalanan, bukan hasil akhir. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an  surat 4, ayat 100:
“dan barang siapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rejeki) yangbanyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum samapai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh. Dan Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, kesuksesan seseorang dilihat dari proses dalam menjalani kehidupan itu, bukan menilai sukses berdasar hasil akhir.
Sebagai ilustrasi, seseorang menimba ilmu di suatu sekolah tinggi terkemuka, maka, seseorang itu dikatakan sukses jika setelah keluar dari sekolahan tersebut bisa mempunyai jabatan tinggi dan terkemuka. Itu premahaman sukses yang KELIRU. Yang benar dan berdasar al-qur’an, maka seseorang yang sekolah itu dikatakan SUKSES jika dia bisa menjalani PROSES-PROSES dalam menjalani sekolahnya dengan baik dan benar, kemudian HASIL AKHIR dari kegiatannya bersekolah itu adalah ada digenggaman Alloh semata, seseorang yang sekolah itu tidak memiliki hak untuk memastikan hasil akhirmya.
Itulah pemahaman sukses yang sesungguhnya berdasarkan perkataan (firman) Alloh. Tapi di lain sisi, tidak sedikit orang yang salah dalam memahami SUKSES yang harus diraih. Kesalahan pemahaman ini kadang terjadi pada umat islam yang belajar islam dari orang islam. Seharusnya belajar islam dari al-qur’an dan Assunah.
Kejadian ini tersirat juga dalam sebuah kisah seorang pada jaman sahabat, seseorang itu membunuh sebanyak 99 orang selama hidupnya. Kemudian seseorang itu ada keinginan untuk bertobat. Kemudian dia mendatangi seorang muslim, dan bertanya. “bagaimana kami hendak bertaubat, tapi bisakah kami bertobat karena kami telah membunuh sebanyak 99 orang selama hidup kami”, seorang muslim itu menjawab, “wah begitu banyak sekali kamu membunuh orang, bagaimana kamu bisa bertobat”. Maka pembunuh itu membunuh seorang muslim itu, sehingga orang yang dibunuhnya genap menjadi 100 orang. Kemudian dia mendatangi lagi seorang muslim alim, kemudian bertanya lagi tentang cara yang bisa dia tempuh untuk bertobat. Seorang alim itu menjawab, “pergilah (berhijrah) ke tempat yang baik, yang terletak di suatu tempat”. Maka si pembunuh itu menuju tempat yang ditunjukan oleh seorang alim itu. Di tengah jalan sebelum sampai ke tempat yang hendak dituju, dia menemui ajalnya. Kemudian para malaikat menimbang pahala si pembunuh itu berdasar jauh dekatnya jarak yang hendak dituju untuk bertobat dengan dosanya membunuh 100 orang.
Dari kisah di atas, meski seseorang pada masa lalunya memiliki kisah tidak baik dalam beribadah atau mendekatkan diri pada Alloh, tapi ada perbaikan di hari-hari berikutnya, maka Alloh MahaPengampun.
Di lain sisi, terkadang ada orang yang bertanya tentang perlunya beribadah. ‘buat apa ibadah dari sekarang, sudah saja ibadah nanti pas hari ajal telah dekat’. Maka ibadah yang dijalankan semacam itu, apakah bisa memenuhi tujuan hakiki dari ibadah itu? Tujuan dari IBADAH tiada lain yaitu untuk suatu perantara untuk mendapat RAHMAT dari Alloh SWT.
Kesuksesan atau kemenangan harus benar-benar dipahami oleh umat islam, karena tidak sedikit orang yang salah memahami sukses itu sendiri, sehingga betapa sulitnya menjalani hari-hari karena salah pemahaman. Kemenangan atau kesuksesan juga dijelaskan dalam al-qur’an surat al-imran (3) ayat 100, bahwa: “setiap yang bernyawa akan merasakan (mencicipi) mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkandari neraka dan dimasukan ke dalam surge, sungguh, dia memperoleh kemenangan”.
Memahami sukses itu sendiri, kita bisa berkaca pada sosok sukses, yang tidak diragukan lagi kesuksesannya, yaitu Rasulullah, Muhammad SAW. Dia adalah orang sukses yang diakui dunia, baik oleh orang islam maupun non-islam. Sehingga dalam sebuah buku yang ditulis oleh orang barat, Rasulullah di tempatkan pada urutan orang pertama yang berhasil (sukses) dalam merubah atau mempengaruhi peradaban manusia. Padahal kalau kita lihat, Rasulullah bukan lah sukses karena bergelar professor, bukan juga sukses karena kemandirian, bukan juga karena kekayaan, bukan juga karena keshalihannya. Dia tetap orang biasa. Kesuksesan bukan karena harta karena Rasulullah pun setelah meninggal dunia tidak lah meninggalkan harta yang bergelimang, hanya meninggalkan tempat tidurnya dari pelepah kurma. Sukses juga bukan karena kemandirian, karena buktinya Rasulullah pun membutuhkan para sahabat-sahabat untuk menyelesaikan dan membantu beragam kegiatan dia (dia tidak bisa bekerja sendiri, dan tetap membutuhkan orang lain). Shalih saja, juga tidak cukup untuk meraih sukses, karena Rasulullah pun pernah salah, sehingga mengharamkan makanan, adahal hak untuk mengharamkan atau menghalalkan makanan hanyalah hak Alloh.
SUKSES kalau kita singkat dalam suatu rumus mudah, maka sebagai berikut:
KEJADIAN + TINDAKAN = SUKSES/GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BURUK = GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BAIK = SUKSES
Jadi kunci SUKSES ada pada tindakan/amal (Al-qur’an 67:2).
Dan ketahuilah, bahwa ALloh itu melihat PROSES yang dijalani seseorang –baik atau tidak, sedangkan hasil akhir adalah hak Alloh semata.
waallohu’alam.


(Sumber: Ustadz Doddy Al Jambary, Masjid Cut Mutiah, Jakarta Pusat)

Rabu, 20 Juni 2012

Istri yang berhak masuk surga dari pintu manapun

Dahulu di Baghdad ada seorang laki-laki penjual kain yang kaya. Tatkala dia sedang berada di tokonya, datanglah seorang gadis muda mencari-cari sesuatu yang hendak dibeli. Ketika sedang berbicara, tiba-tiba gadis itu menyingkap wajahnya di sela-sela perbincangan tersebut sehingga laki-laki terrebut terkesima dan berkata, “Demi Allah, aku terpana dengan apa yang kulihat.”
Gadis itupun berkata, “Kedatanganku bukan untuk membeli apapun. Selama beberapa hari ini aku keluar masuk pasar untuk mencari seorang pria yang menarik hatiku dan bersedia menikah denganku. Dan engkau telah membuatku tertarik. Aku memiliki harta. Apakah engkau mau menikah denganku?”
Laki-laki itu berkata, “Aku telah menikahi sepupuku, dialah istriku. Aku telah berjanji kepadanya untuk tidak membuatnya cemburu dan aku juga telah mempunyai seorang anak darinya.”
Wanita itu mengatakan, “Aku rela jika engkau hanya mendatangiku dua kali dalam seminggu.” Akhirnya laki-laki itupun setuju lalu bangkit bersamanya. Akad nikah pun dilakukan. Kemudian dia pergi menuju rumah gadis tersebut dan berhubungan dengannya.
Setelah itu, si pedagang kain pulang ke rumahnya lalu berkata kepada istrinya, “Ada teman yang memintaku tinggal semalam di rumahnya.” Dia pun pergi dan bermalam bersama istri barunya.
Setiap hari setelah zhuhur dia mengunjungi istri barunya. Hal ini berlangsung selama delapan bulan, hingga akhirnya istrinya yang pertama mulai merasa aneh dengan keadaannya. Dia berkata kepada pembantunya, “Jika suamiku keluar, perhatikanlah ke mana dia pergi.”
Si pembantu pun membuntuti suami majikannya pergi ke toko, namun ketika tiba waktu zhuhur dia pergi lagi. Si pembantu terus membuntuti tanpa diketahui hingga tibalah suami majikannya itu di rumah istri yang baru. Pembantu itu mendatangi tetangga-tetangga sekitar dan bertanya, “Rumah siapakah ini?” Mereka menjawab, “Rumah milik seorang wanita yang telah menikah dengan seorang penjual kain.”
Pembantu itu segera pulang menemui majikannya lalu menceritakan hal tersebut. Majikannya berpesan, “Hati-hati, jangan sampai ada seorang pun yang lain mengetahui hal ini.” Dan istri lama si pedagang kain juga tetap bersikap seperti biasa terhadap suaminya.
Si pedagang kain menjalani kehidupan bersama istrinya yang baru selama satu tahun. Lalu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak delapan ribu dinar. Maka istri yang pertama membagi harta warisan yang berhak diterima oleh putranya, yaitu tujuh ribu dinar. Sementara sisanya yang berjumlah seribu dinar ia bagi menjadi dua. Satu bagian ia letakkan di dalam kantong, kemudian ia berkata kepada pembantunya, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke rumah wanita itu. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah meninggal dengan mewariskan uang sebesar delapan rib dinar. Putranya telah mengambil tujuh ribu dinar yang menjadi haknya, dan sisanya seribu dinar aku bagi denganmu, masing-masing memperoleh setengah. Inilah bagian untukmu. Dan sampaikan salamku juga untuknya.”
Si pembantu pun pergi ke rumah istri kedua si pedagang kain, kemudian mengetuk pintu. Setelah masuk, disampaikannyalah berita tentang kematian si pedagang kain, dan pesan dari istri pertamanya. Wanita itupun menangis, lalu membuka kotak miliknya dan mengeluarkan secarik kertas seraya berkata kepada si pembantu, “Kembalilah kepada majikanmu dan sampaikan salamku untuknya. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah menceraikanku dan telah menulis surat cerai untukku. Maka kembalikanlah harta ini kepadanya karena sesungguhnya aku tidak berhak mendapatkan harta warisannya sedikitpun.” (Shifatus Shofwah, 2/532)
MasyaAllah …….
Dinukil dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 16/1433 H/2012, dalam artikel “Mutiara Berkilau para Wanita Shalihah” oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim hafizhahullah, hal. 68-69.