Rasulullah manusia dermawan
Sayyidina Umar bin Khatta
bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui
Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan
harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak,
aku yang akan
membayarnya.”
Umar lalu berkata, “Wahai
Rasulullah janganlah
memberi diluar batas
kemampuanmu.” Rasulullah
tidak menyukai perkataan
Umar tadi. Tiba-tiba, datang
seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut,
terus saja berinfak. Jangan
khawatir dengan
kemiskinan.” Mendengar
ucapan laki-laki tadi,
Rasulullah tersenyum, lalu
beliau berkata kepada
Umar, “Ucapan itulah yang
diperintahkan oleh Allah
kepadaku.” (HR Turmudzi).
Jubair bin Muth’im bertutur,
ketika ia bersama Rasulullah
SAW, tiba-tiba orang-orang
mencegat beliau dan
meminta dengan setengah
memaksa sampai-sampai
beliau disudutkan ke sebuah
pohon berduri.
Kemudian salah seorang
dari mereka mengambil
mantelnya. Rasulullah
berhenti sejenak dan
berseru, ”Berikan mantelku
itu padaku! Itu untuk
menutup auratku.
Seandainya aku mempunyai
mantel banyak (lebih dari
satu), tentu akan kubagikan
pada kalian.” (HR. Bukhari)
Ummu Salamah, istri
Rasulullah SAW bercerita,
suatu hari Rasulullah masuk
ke rumahku dengan muka
pucat. Aku khawatir beliau
sedang sakit. “Ya Rasulullah,
mengapa wajahmu pucat
begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab, ”Aku
pucat begini bukan karena
sakit, melainkan karena aku
ingat uang tujuh dinar yang
kita dapat kemarin sampai
sore ini masih berada di
bawah kasur dan kita belum
menginfakkannya.” (HR Al-
Haitsami dan hadistnya
sahih).
Aisyah berkata, suatu hari,
ketika sakit, Rasulullah SAW
menyuruhku bersedekah
dengan uang tujuh dinar
yang disimpannya di rumah.
Setelah menyuruhku
bersedekah, beliau lalu
pingsan. Ketika sudah
siuman, Rasulullah bertanya
kembali: “Uang itu sudah
kau sedekahkan?”
“Belum, karena aku kemarin
sangat sibuk,” jawabku.
Rasulullah bersabda,
“Mengapa bisa begitu, ambil
uang itu!”
Begitu uang itu sudah di
hadapannya, Rasulullah lalu
bersabda, “Bagaimana
menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal,
sementara aku masih
mempunyai uang yang
belum kusedekahkan? Uang
ini tidak akan
menyelamatkan Muhammad
seandainya ia meninggal
sekarang, sementara ia
mempunyai uang yang
belum disedekahkan.” (HR
Ahmad).
Sahl bin Sa’ad bertutur,
suatu hari datang seorang
perempuan menghadiahkan
kepada Nabi Saw sepotong
syamlah yang ujungnya
ditenun (syamlah adalah
baju lapang yang menutup
seluruh badan). Perempuan
itu berkata, “Ya Rasulullah,
akulah yang menenun
syamlah ini dan aku hendak
menghadiahkannya kepada
Engkau.” Rasulullah pun
sangat menyukainya. Tanpa
banyak bicara, beliau
langsung mengambil dan
memakainya dengan sangat
gembira dan berterima kasih
kepada wanita itu.
Rasulullah betul-betul
sangat membutuhkan dan
menyukai syamlah tersebut.
Tidak lama setelah wanita itu
pergi, tiba-tiba datang
seorang laki-laki meminta
syamlah tersebut. Rasulullah
pun memberikannya. Para
sahabat yang lain lalu
mengecam laki-laki tersebut.
Mereka berkata, “Hai Fulan,
Rasulullah sangat menyukai
syamlah tersebut, mengapa
kau memintanya? Kau kan
tahu Rasulullah tidak pernah
tidak memberi kalau
diminta?” Laki-laki itu
menjawab, “Aku
memintanya bukan untuk
dipakai sebagai baju,
melainkan untuk kain
kafanku nanti kalau aku
meninggal.” Tidak lama
kemudian, laki-laki itu
meninggal dan syamlah
tersebut menjadi kain
kafannya. (HR Bukhari).
Beberapa kisah di atas
hanyalah sebutir jejak
kedermawanan Nabi
Muhammad SAW.
Kisah-
kisah lainnya bagaikan
gunung pasir tertinggi yang
takkan pernah sanggup
diimbangi oleh siapapun,
termasuk para sahabat-
sahabat terdekatnya di masa
beliau masih hidup.
Sahabat-sahabat Rasulullah
hanya bisa meniru
kedermawanan yang
diajarkan Baginda Rasul itu,
yang kemudian menambah
panjang jejak sejarah
kedermawanan yang
dicontohkan Nabi dan para
sahabatnya.
Lihatlah Thalhah bin
Ubaidillah, seorang sahabat
yang kaya raya namun
pemurah dan dermawan“Sungai yang airnya
mengalir terus menerus
mengairi dataran dan
lembah” adalah lukisan
tentang kedermawanan
seorang Thalhah. Isterinya
bernama Su’da binti Auf.
Pada suatu hari isterinya
melihat Thalhah sedang
murung dan duduk
termenung sedih. Melihat
keadaan suaminya, sang
isteri segera menanyakan
penyebab kesedihannya dan
Thalhah mejawab, “Uang
yang ada di tanganku
sekarang ini begitu banyak
sehingga memusingkanku.
Apa yang harus kulakukan?”
Maka istrinya berkata,
“Uang yang ada di
tanganmu itu bagi-
bagikanlah kepada fakir
miskin.” Maka dibagi-
baginyalah seluruh uang
yang ada di tangan Thalhah
tanpa meninggalkan
sepeserpun.
Assaib bin Zaid berkata
tentang Thalhah, “Aku
berkawan dengan Thalhah
baik dalam perjalanan
maupun sewaktu bermukim.
Aku melihat tidak ada
seorangpun yang lebih
dermawan dari dia terhadap
kaum muslimin. Ia
mendermakan uang,
sandang dan pangannya.”
Jaabir bin Abdullah bertutur,
“Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih dermawan
dari Thalhah walaupun
tanpa diminta.” Oleh karena
itu patutlah jika dia dijuluki
“Thalhah si dermawan”,
“Thalhah si pengalir harta”,
“Thalhah kebaikan dan
kebajikan”.
Sahabat lain yang mengukir
jejak indah kedermawanan
mencontoh Nabi adalah
Tsabit bin Dahdah yang
memiliki kebun yang bagus,
berisi 600 batang kurma
kualitas terbaik. Begitu turun
firman Allah, “Siapakah yang
mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik,
maka Allah akan
melipatgandakan
(pembayaran) pinjaman itu
untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang
banyak.” (Al-Hadid: 11). Dia
bergegas mendatangi
Rasulullah untuk bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah Allah
ingin meminjam dari
hambanya?”
“Benar,” jawab Rasulullah.
Spontan Tsabit bin Dahdah
mengacungkan tangannya
seraya berkata, “Ulurkanlah
tangan Anda, wahai
Rasulullah.”
Rasulullah mengulurkan
tangannya, dan langsung
disambut oleh Tsabit bin
Dahdah sambil berkata,
“Aku menjadikan Anda
sebagai saksi bahwa
kupinjamkan kebunku
kepada Allah.”
Tsabit sangat gembira
dengan keputusannya itu.
Dalam perjalanan pulang dia
mampir ke kebunnya.
Dilihatnya isteri dan anak-
anaknya sedang bersantai di
bawah pepohonan yang
sarat dengan buah.
Dari pintu kebun,
Dipanggillah sang isteri, “Hai
Ummu Dahdah! Ummu
Dahdah! Cepat keluar dari
kebun ini, Aku sudah
meminjamkan kebun ini
kepada Allah!” Isterinya
menyambut dengan suka
cita, “Engkau tidak rugi,
suamiku, engkau beruntung,
engkau sungguh
beruntung!” Segera
dikeluarkannya kurma yang
ada di mulut anak-anaknya
seraya berkata, “Ayahmu
sudah meminjamkan kebun
ini kepada Allah.”
Ibnu Mas’ud menceritakan
bahwa Rasulullah bersabda,
“Berapa banyak pohon sarat
buah yang kulihat di surga
atas nama Abu Dahdah.”
Artinya, Allah memberi
Tsabit bin Dahdah pohon-
pohon yang berbuah lebat
di surga sebagai ganti atas
pemberiannya kepada-Nya
di dunia.
Indah nian jejak-jejak
kedermawanan Nabi
Muhammad SAW, lebih
indah lagi apa-apa yang
dijanjikan Allah atas apa
yang diberikan di jalan-Nya.
Karenanya, seluruh sahabat
pada masa itu berlomba-
lomba mengikuti jejak Nabi
dalam segala hal, termasuk
tentang kedermawanan.
Semoga, jejak
kedermawanan itu terus
terukir pada ummat
Muhammad hingga kini
selama kita masih terus
meleburkan diri pada rantai
jejak indah itu, dan
mengajarkannya kepada
anak-anak dan penerus
kehidupan ini.
hikayat penuh hikmah
semoga cerita ini bisa menjadi acuan berfikir dalam melangkah mengarungi samudra kehidupan ini
Sabtu, 21 Juli 2012
kekuatan Allah
dahulu kala pada Suatu pagi, ada seorang laki-laki tua pergi hendak berburu mencari rezeki yang halal dengan cara menjala ikan di laut. Namun, sampai hampir malam, ia belum mendapatkan satu pun binatang buruan. la lalu berdoa sepenuh hati, “Ya Allah, anak-anakku menunggu kelaparan di rumah, berilah aku seekor ikan laut.”
Tidak lama setelah doanya selesai ia panjatkan, Allah memberikannya rezeki: jala yang dibawa nelayan itu mengenai seekor ikan yang sangat besar. la pun bersyukur kepada Allah dan pulang ke rumah dengan penuh bahagia.
Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan kelompok raja yang hendak berburu juga. Raja heran dan takjub luar biasa begitu melihat ikan sebegitu besar yang dibawa pemburu itu. Lalu, ia menyuruh pengawal untuk mengambil ikan itu secara paksa dari tangan sang Nelayan.
Dibawanya ikan itu pulang dengan bahagia. Ketika sampai di istana, ia keluarkan ikan itu dan bolak-balik sambil tertawa ria, tiba-tiba, ikan itu mengigit jarinya dan mengakibatkan badannya jadi panas dingin sehingga malam itu Raja tidak dapat tidur.
Dihadirkanlah seluruh dokter untuk mengobati sakitnya. Semua dokter menyarankan agar jarinya itu dipotong untuk rnenghindari tersebarnya infeksi ke anggota badan lainnya. Raja pun menyetujui nasihat mereka.
Namun, setelah jarinya dipotong, ia tetap tidak dapat istirahat karena ternyata racun itu telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Para dokter pun menyarankan agar pergelangan tangan raja dipotong dan Raja pun menyetujuinya. Namun, setelah pergelangan tangannya dipotong, tetap saja Raja tidak dapat memejamkan matanya, bahkan rasa sakitnya makin bertambah. la berteriak dan meringis dengan keras karena racun itu telah merasuk dan menyebar ke anggota tubuh lainnya.
Seluruh dokter akhirnya
menyarankan agar tangan Raja sampai siku dipotong, Raja pun menyetujuinya. Setelah lengannya dipotong, sakit jasmaninya kini telah hilang, tetapi diri dan jiwanya tetap belum tenang. Semua dokter akhirnya menyarankan, agar Raja dibawa ke seorang dokter jiwa/psikiater (ahli hikmah).
Dibawalah sang Raja menemui seorang dokter jiwa dan diceritakan seluruh kejadian seputar ikan yang ia rebut dari Nelayan itu.
Mendengar itu, ahli hikmah berkata, “Jiwa Tuan tetap tidak akan tenang selamanya sampai Nelayan itu memaafkan dosa dan kesalahan yang telah Tuan perbuat.”
Dicarinya nelayan itu dan setelah didapatkan, Raja menceritakan kejadian yang dialaminya dan ia memohon agar si Nelayan itu memaafkan semua kesalahannya. Si Nelayan pun memaafkannya dan keduanya saling berjabat tangan.
Sang Raja penasaran ingin mengetahui apa yang dikatakan si Nelayan ketika Raja mengambil paksa ikannya. la bertanya, “Wahai nelayan, apa yang kaukatakan ketika prajuritku merampas ikanmu itu?”
Nelayan itu menjawab, “Tidak ada kecuali aku hanya mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya dia telah menampakkan kekuatannya kepadaku, perlihatkanlah kekuatan-Mu kepadanya!”‘
Sungguh, doa orang teraniaya sangat mustajab maka berhati-hatilah dalam bertindak.
Jika ada yang mengancammu dengan kebinasaan, jawablah ancamannya dengan nasihat dan doa. (Ja’far Ash Shadiq)
Senin, 02 Juli 2012
Pesankan Saya Tempat di Neraka
Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.
Sumber : majelisalanwar
Isian ini ada pada kategori Dakwah
Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.
Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.
Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.
Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!
“Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!”
Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.
Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.
Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.
“Bangunkan saja!” kata seorang penumpang.
“Iya, bangunkan saja!” teriak yang lainnya.
Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.
Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.
Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya….
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat…
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk…
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah…
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.
Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar…
mumpung kesempatan itu masih ada!
Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a’lam.
Sumber : majelisalanwar
ibnu hajar dan seorang yahudi
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.
Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.
Kisah indah Ibnu Hajar dengan Seorang Yahudi tafsir hadist “addunya sijnul mukmin wa jannatul kafir”. kitab “Fathul Majid” bab sifat jaiz Allah karya Imam Nawawi Al Bantani.
Published by habib ahmad on January 11, 2011 in Artikel Islam.
Ibnu Hajar rahimahullah dulu adalah seorang hakim besar Mesir di masanya. Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati seorang yahudi Mesir. Si yahudi itu adalah seorang penjual minyak. Sebagaimana kebiasaan tukang minyak, si yahudi itu pakaiannya kotor. Melihat arak-arakan itu, si yahudi itu menghadang dan menghentikannya. Si yahudi itu berkata kepada Ibnu Hajar:
“Sesungguhnya Nabi kalian berkata: ” Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir. ” (HR. Muslim). Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini.
Sedang aku –yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini.” Maka Ibnu Hajar menjawab: “Aku dengan keadaanku yang penuh dengan kemewahan dan kenimatan dunia ini bila dibandingkan dengan kenikmatan surga adalah seperti sebuah penjara. Sedang penderitaan yang kau alami di dunia ini dibandingkan dengan yang adzab neraka itu seperti sebuah surga.”
Maka si yahudi itupun kemudian langsung mengucapkan syahadat: “Asyhadu anlailaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tanpa berpikir panjang langsung masuk Islam.
Kamis, 28 Juni 2012
GURU MU
by. H.R. Taufiqurrahman.MA
Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama
berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya
masih tetap membara. Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai
nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan kapasitas keilmuan dan
kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad, selalu melekat dan
diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata, untaian
kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz
Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran
di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad.
Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an
(PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai
As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para
hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya
Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan
pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan perlunya mendalami
ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit
berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi
berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam
muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad
berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi,
Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai
Basori nika, guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai
Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari
ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai
As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa
seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu
huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di
atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu
man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba
setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu
bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat
itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara
Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan pribadi dan bahkan
bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka terkadang Kiai Basori
harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah perjuangan demi
al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika
Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi,
kontan saja para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak
lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai
guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para
penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini
membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata
setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi
salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000 rupiah.
Sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk
ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel berupa uang,
walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang Madura
pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan kosong.
Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak tahu
hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk
penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah
orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai
Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka sejak itu pula
mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru yang harus
dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara
haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah
Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga
penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam
membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa?
Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori
sebagai Sang Guru Quran.
Sekali seseorang mengajari kita
tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu pula dialah guru
kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis seperti
prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul
Ilmi.
Jumat, 22 Juni 2012
SUKSES adalah proses
Sukses adalah dinilai dari sebuah proses, bukan hasil akhir.“Success is a journey”. Sukses adalah perjalanan, bukan hasil akhir. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an surat 4, ayat 100:
“dan barang siapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rejeki) yangbanyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum samapai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Alloh. Dan Alloh Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, kesuksesan seseorang dilihat dari proses dalam menjalani kehidupan itu, bukan menilai sukses berdasar hasil akhir.
Sebagai ilustrasi, seseorang menimba ilmu di suatu sekolah tinggi terkemuka, maka, seseorang itu dikatakan sukses jika setelah keluar dari sekolahan tersebut bisa mempunyai jabatan tinggi dan terkemuka. Itu premahaman sukses yang KELIRU. Yang benar dan berdasar al-qur’an, maka seseorang yang sekolah itu dikatakan SUKSES jika dia bisa menjalani PROSES-PROSES dalam menjalani sekolahnya dengan baik dan benar, kemudian HASIL AKHIR dari kegiatannya bersekolah itu adalah ada digenggaman Alloh semata, seseorang yang sekolah itu tidak memiliki hak untuk memastikan hasil akhirmya.
Itulah pemahaman sukses yang sesungguhnya berdasarkan perkataan (firman) Alloh. Tapi di lain sisi, tidak sedikit orang yang salah dalam memahami SUKSES yang harus diraih. Kesalahan pemahaman ini kadang terjadi pada umat islam yang belajar islam dari orang islam. Seharusnya belajar islam dari al-qur’an dan Assunah.
Kejadian ini tersirat juga dalam sebuah kisah seorang pada jaman sahabat, seseorang itu membunuh sebanyak 99 orang selama hidupnya. Kemudian seseorang itu ada keinginan untuk bertobat. Kemudian dia mendatangi seorang muslim, dan bertanya. “bagaimana kami hendak bertaubat, tapi bisakah kami bertobat karena kami telah membunuh sebanyak 99 orang selama hidup kami”, seorang muslim itu menjawab, “wah begitu banyak sekali kamu membunuh orang, bagaimana kamu bisa bertobat”. Maka pembunuh itu membunuh seorang muslim itu, sehingga orang yang dibunuhnya genap menjadi 100 orang. Kemudian dia mendatangi lagi seorang muslim alim, kemudian bertanya lagi tentang cara yang bisa dia tempuh untuk bertobat. Seorang alim itu menjawab, “pergilah (berhijrah) ke tempat yang baik, yang terletak di suatu tempat”. Maka si pembunuh itu menuju tempat yang ditunjukan oleh seorang alim itu. Di tengah jalan sebelum sampai ke tempat yang hendak dituju, dia menemui ajalnya. Kemudian para malaikat menimbang pahala si pembunuh itu berdasar jauh dekatnya jarak yang hendak dituju untuk bertobat dengan dosanya membunuh 100 orang.
Dari kisah di atas, meski seseorang pada masa lalunya memiliki kisah tidak baik dalam beribadah atau mendekatkan diri pada Alloh, tapi ada perbaikan di hari-hari berikutnya, maka Alloh MahaPengampun.
Di lain sisi, terkadang ada orang yang bertanya tentang perlunya beribadah. ‘buat apa ibadah dari sekarang, sudah saja ibadah nanti pas hari ajal telah dekat’. Maka ibadah yang dijalankan semacam itu, apakah bisa memenuhi tujuan hakiki dari ibadah itu? Tujuan dari IBADAH tiada lain yaitu untuk suatu perantara untuk mendapat RAHMAT dari Alloh SWT.
Kesuksesan atau kemenangan harus benar-benar dipahami oleh umat islam, karena tidak sedikit orang yang salah memahami sukses itu sendiri, sehingga betapa sulitnya menjalani hari-hari karena salah pemahaman. Kemenangan atau kesuksesan juga dijelaskan dalam al-qur’an surat al-imran (3) ayat 100, bahwa: “setiap yang bernyawa akan merasakan (mencicipi) mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkandari neraka dan dimasukan ke dalam surge, sungguh, dia memperoleh kemenangan”.
Memahami sukses itu sendiri, kita bisa berkaca pada sosok sukses, yang tidak diragukan lagi kesuksesannya, yaitu Rasulullah, Muhammad SAW. Dia adalah orang sukses yang diakui dunia, baik oleh orang islam maupun non-islam. Sehingga dalam sebuah buku yang ditulis oleh orang barat, Rasulullah di tempatkan pada urutan orang pertama yang berhasil (sukses) dalam merubah atau mempengaruhi peradaban manusia. Padahal kalau kita lihat, Rasulullah bukan lah sukses karena bergelar professor, bukan juga sukses karena kemandirian, bukan juga karena kekayaan, bukan juga karena keshalihannya. Dia tetap orang biasa. Kesuksesan bukan karena harta karena Rasulullah pun setelah meninggal dunia tidak lah meninggalkan harta yang bergelimang, hanya meninggalkan tempat tidurnya dari pelepah kurma. Sukses juga bukan karena kemandirian, karena buktinya Rasulullah pun membutuhkan para sahabat-sahabat untuk menyelesaikan dan membantu beragam kegiatan dia (dia tidak bisa bekerja sendiri, dan tetap membutuhkan orang lain). Shalih saja, juga tidak cukup untuk meraih sukses, karena Rasulullah pun pernah salah, sehingga mengharamkan makanan, adahal hak untuk mengharamkan atau menghalalkan makanan hanyalah hak Alloh.
SUKSES kalau kita singkat dalam suatu rumus mudah, maka sebagai berikut:
KEJADIAN + TINDAKAN = SUKSES/GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BURUK = GAGAL
KEJADIAN + TINDAKAN BAIK = SUKSES
Jadi kunci SUKSES ada pada tindakan/amal (Al-qur’an 67:2).
Dan ketahuilah, bahwa ALloh itu melihat PROSES yang dijalani seseorang –baik atau tidak, sedangkan hasil akhir adalah hak Alloh semata.
waallohu’alam.
(Sumber: Ustadz Doddy Al Jambary, Masjid Cut Mutiah, Jakarta Pusat)
Rabu, 20 Juni 2012
Dahulu
di Baghdad ada seorang laki-laki penjual kain yang kaya. Tatkala dia
sedang berada di tokonya, datanglah seorang gadis muda mencari-cari
sesuatu yang hendak dibeli. Ketika sedang berbicara, tiba-tiba gadis itu
menyingkap wajahnya di sela-sela perbincangan tersebut sehingga
laki-laki terrebut terkesima dan berkata, “Demi Allah, aku terpana
dengan apa yang kulihat.”
Gadis itupun berkata, “Kedatanganku bukan untuk membeli apapun. Selama beberapa hari ini aku keluar masuk pasar untuk mencari seorang pria yang menarik hatiku dan bersedia menikah denganku. Dan engkau telah membuatku tertarik. Aku memiliki harta. Apakah engkau mau menikah denganku?”
Laki-laki itu berkata, “Aku telah menikahi sepupuku, dialah istriku. Aku telah berjanji kepadanya untuk tidak membuatnya cemburu dan aku juga telah mempunyai seorang anak darinya.”
Wanita itu mengatakan, “Aku rela jika engkau hanya mendatangiku dua kali dalam seminggu.” Akhirnya laki-laki itupun setuju lalu bangkit bersamanya. Akad nikah pun dilakukan. Kemudian dia pergi menuju rumah gadis tersebut dan berhubungan dengannya.
Setelah itu, si pedagang kain pulang ke rumahnya lalu berkata kepada istrinya, “Ada teman yang memintaku tinggal semalam di rumahnya.” Dia pun pergi dan bermalam bersama istri barunya.
Setiap hari setelah zhuhur dia mengunjungi istri barunya. Hal ini berlangsung selama delapan bulan, hingga akhirnya istrinya yang pertama mulai merasa aneh dengan keadaannya. Dia berkata kepada pembantunya, “Jika suamiku keluar, perhatikanlah ke mana dia pergi.”
Si pembantu pun membuntuti suami majikannya pergi ke toko, namun ketika tiba waktu zhuhur dia pergi lagi. Si pembantu terus membuntuti tanpa diketahui hingga tibalah suami majikannya itu di rumah istri yang baru. Pembantu itu mendatangi tetangga-tetangga sekitar dan bertanya, “Rumah siapakah ini?” Mereka menjawab, “Rumah milik seorang wanita yang telah menikah dengan seorang penjual kain.”
Pembantu itu segera pulang menemui majikannya lalu menceritakan hal tersebut. Majikannya berpesan, “Hati-hati, jangan sampai ada seorang pun yang lain mengetahui hal ini.” Dan istri lama si pedagang kain juga tetap bersikap seperti biasa terhadap suaminya.
Si pedagang kain menjalani kehidupan bersama istrinya yang baru selama satu tahun. Lalu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak delapan ribu dinar. Maka istri yang pertama membagi harta warisan yang berhak diterima oleh putranya, yaitu tujuh ribu dinar. Sementara sisanya yang berjumlah seribu dinar ia bagi menjadi dua. Satu bagian ia letakkan di dalam kantong, kemudian ia berkata kepada pembantunya, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke rumah wanita itu. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah meninggal dengan mewariskan uang sebesar delapan rib dinar. Putranya telah mengambil tujuh ribu dinar yang menjadi haknya, dan sisanya seribu dinar aku bagi denganmu, masing-masing memperoleh setengah. Inilah bagian untukmu. Dan sampaikan salamku juga untuknya.”
Si pembantu pun pergi ke rumah istri kedua si pedagang kain, kemudian mengetuk pintu. Setelah masuk, disampaikannyalah berita tentang kematian si pedagang kain, dan pesan dari istri pertamanya. Wanita itupun menangis, lalu membuka kotak miliknya dan mengeluarkan secarik kertas seraya berkata kepada si pembantu, “Kembalilah kepada majikanmu dan sampaikan salamku untuknya. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah menceraikanku dan telah menulis surat cerai untukku. Maka kembalikanlah harta ini kepadanya karena sesungguhnya aku tidak berhak mendapatkan harta warisannya sedikitpun.” (Shifatus Shofwah, 2/532)
MasyaAllah …….
Dinukil dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 16/1433 H/2012, dalam artikel “Mutiara Berkilau para Wanita Shalihah” oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim hafizhahullah, hal. 68-69.
Gadis itupun berkata, “Kedatanganku bukan untuk membeli apapun. Selama beberapa hari ini aku keluar masuk pasar untuk mencari seorang pria yang menarik hatiku dan bersedia menikah denganku. Dan engkau telah membuatku tertarik. Aku memiliki harta. Apakah engkau mau menikah denganku?”
Laki-laki itu berkata, “Aku telah menikahi sepupuku, dialah istriku. Aku telah berjanji kepadanya untuk tidak membuatnya cemburu dan aku juga telah mempunyai seorang anak darinya.”
Wanita itu mengatakan, “Aku rela jika engkau hanya mendatangiku dua kali dalam seminggu.” Akhirnya laki-laki itupun setuju lalu bangkit bersamanya. Akad nikah pun dilakukan. Kemudian dia pergi menuju rumah gadis tersebut dan berhubungan dengannya.
Setelah itu, si pedagang kain pulang ke rumahnya lalu berkata kepada istrinya, “Ada teman yang memintaku tinggal semalam di rumahnya.” Dia pun pergi dan bermalam bersama istri barunya.
Setiap hari setelah zhuhur dia mengunjungi istri barunya. Hal ini berlangsung selama delapan bulan, hingga akhirnya istrinya yang pertama mulai merasa aneh dengan keadaannya. Dia berkata kepada pembantunya, “Jika suamiku keluar, perhatikanlah ke mana dia pergi.”
Si pembantu pun membuntuti suami majikannya pergi ke toko, namun ketika tiba waktu zhuhur dia pergi lagi. Si pembantu terus membuntuti tanpa diketahui hingga tibalah suami majikannya itu di rumah istri yang baru. Pembantu itu mendatangi tetangga-tetangga sekitar dan bertanya, “Rumah siapakah ini?” Mereka menjawab, “Rumah milik seorang wanita yang telah menikah dengan seorang penjual kain.”
Pembantu itu segera pulang menemui majikannya lalu menceritakan hal tersebut. Majikannya berpesan, “Hati-hati, jangan sampai ada seorang pun yang lain mengetahui hal ini.” Dan istri lama si pedagang kain juga tetap bersikap seperti biasa terhadap suaminya.
Si pedagang kain menjalani kehidupan bersama istrinya yang baru selama satu tahun. Lalu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak delapan ribu dinar. Maka istri yang pertama membagi harta warisan yang berhak diterima oleh putranya, yaitu tujuh ribu dinar. Sementara sisanya yang berjumlah seribu dinar ia bagi menjadi dua. Satu bagian ia letakkan di dalam kantong, kemudian ia berkata kepada pembantunya, “Ambillah kantong ini dan pergilah ke rumah wanita itu. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah meninggal dengan mewariskan uang sebesar delapan rib dinar. Putranya telah mengambil tujuh ribu dinar yang menjadi haknya, dan sisanya seribu dinar aku bagi denganmu, masing-masing memperoleh setengah. Inilah bagian untukmu. Dan sampaikan salamku juga untuknya.”
Si pembantu pun pergi ke rumah istri kedua si pedagang kain, kemudian mengetuk pintu. Setelah masuk, disampaikannyalah berita tentang kematian si pedagang kain, dan pesan dari istri pertamanya. Wanita itupun menangis, lalu membuka kotak miliknya dan mengeluarkan secarik kertas seraya berkata kepada si pembantu, “Kembalilah kepada majikanmu dan sampaikan salamku untuknya. Beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah menceraikanku dan telah menulis surat cerai untukku. Maka kembalikanlah harta ini kepadanya karena sesungguhnya aku tidak berhak mendapatkan harta warisannya sedikitpun.” (Shifatus Shofwah, 2/532)
MasyaAllah …….
Dinukil dari: Majalah Akhwat Shalihah vol. 16/1433 H/2012, dalam artikel “Mutiara Berkilau para Wanita Shalihah” oleh Syaikh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim hafizhahullah, hal. 68-69.
Langganan:
Postingan (Atom)